BARISAN.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny Gerard Plate sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1-5 BAKTI 2020-2022.
Penetapan dilakukan setelah Johnny diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi hari ini, Rabu (17/5/2023). Kejagung menyatakan bahwa negara merugi Rp 8,32 triliun buntut dari kasus korupsi BTS yang menimpa Johnny G Plate.
Diduga, keterlibatan Johnny G Plate terkait jabatannya selaku menkominfo dan selaku pengguna anggaran dalam pengadaan infrastuktur BTS.
“Yang bersangkutan diperiksa diduga keterlibatan dalam rangka terkait jabatan yang bersangkutan selaku menteri dan selaku pengguna anggaran,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi, di Kompleks Kejagung, Jakarta. kepada wartawan, Rabu (17/5/2023).
Aliran Dana Korupsi ke Partai?
Sampai saat ini, Kejagung masih berupaya untuk mendalami aliran dana yang keluar dari kasus tersebut.
Kejagung juga belum bisa memastikan berapa nominal yang dikantongi Johnny Plate dalam kasus korupsi BTS, dan apakah aliran dana korupsi sampai ke Partai Nasdem selaku partai dari menkominfo tersebut.
“Terkait dengan aliran dana dan sebagainya [ke Partai NasDem], tentu saja saat ini masih kita dalami, Kita masih melakukan pengumpulan alat bukti yang lain.” ujar Kuntadi.
Kejagung masih terus melakukan pendalaman atas kasus Korupsi BTS. Selain itu, Kejagung pun terus mempelajari sejumlah barang bukti yang telah diamankan, termasuk amplop yang ditemukan di mobil Johnny Plate.
Nasib Partai Jika Terbukti Terima Dana Koupsi
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam memeriksa korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Dalam hal ini partai politik termasuk kategori korporasi. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
“Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
Sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol) menyatakan:
“Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum”
Sehingga berdasarkan bunyi ketentuan-ketentuan di atas, maka Partai Politik merupakan korporasi.
Syarat partai politik dapat dikenakan tindak pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi.
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) disebutkan:
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”
Dalam menilai kesalahan korporasi sehingga bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana maka perlu merujuk Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No. 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (Perma 13 tahun 2016) menjelaskan:
Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar. Dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Sanksi bagi partai politik yang melakukan tindak pidana korupsi.
Jika ternyata berdasarkan penyidikan ditemukan adanya peran partai politik sebagaimana disebutkan Pasal 4 PERMA 13 tahun 2016 di atas, maka Partai politik dapat dipidana.
Misalnya jika Ketua Umum Partai Politik Ayam Berkokok melakukan korupsi anggaran proyek pembangunan jalan tol. Lalu berdasarkan penyidikan ternyata uang hasil korupsi anggara jalan tol tersebut juga mengalir untuk keperluan partai politik dalam pencalonan kepala daerah, legislatif dan presiden. Dalam konteks ini maka partai politik akan dikenakan pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Sesuai, Pasal 20 ayat (7) UU Tipikor yang menyatakan: “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).”
Namun, jika pidana yang dikenakan termasuk tindak pidana pencucian uang, korporasi dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana disebutkan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai berikut:
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat 1, terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidan tambahan berupa:
- Pengumuman putusan hakim
- Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi
- Pencabutan izin usaha
- Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi
- Perampasan aset korporasi untuk negara, dan/atau
- Pengambilalihan korporasi oleh negara
Oleh karena itu berdasarkan penjelasan di atas, maka partai politik merupakan korporasi sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan dikenakan sanksi pidana berupa denda dan/atau pidana tambahan ini. Partai politik yang melakukan tindak pidana korupsi, dapat dibubarkan, dirampas aksesnya, dan sebagainya. [rif]