Uang dan air sama-sama dianggap membawa kesegaran dan menyehatkan.
BARISAN.CO – Barangkali jika ada persamaan antara uang dan air, keduanya sama-sama memperbaiki keadaan dan membawa kesegaran.
Misalnya, bagi seorang pegawai yang habis waktu kerja seharian hingga bajunya bau keringat dan badannya lengket, kucuran air shower akan menyegarkannya. Sementara itu, bagi sebuah perusahaan yang mengalami defisit keuangan menahun, kucuran dana segar bisa memperkuat modalnya.
Tidak terlalu terang sejak kapan umat manusia senang menggunakan sifat-sifat air untuk menjelaskan perkara uang. Penggambaran uang sebagai benda cair pun sudah terekam dalam banyak ungkapan sejak masa lalu.
Dalam dunia finansial, misalnya, tidak ada yang lebih penting daripada arus kas (cash flow). Akan halnya aliran air, arus kas juga dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Para pakar sering mengatakan sehat tidaknya perusahaan bisa dilihat dari bagaimana arus kasnya.
Selain arus kas ada juga istilah likuiditas. Diserap dari kata liquid (cairan) dalam bahasa Inggris. Menurut KBBI, likuiditas adalah posisi uang kas perusahaan dan kemampuannya memenuhi kewajiban jatuh tempo tepat pada waktunya.
Percayalah, uang juga punya sifat mengalir ke tempat yang lebih rendah layaknya air. Kadang-kadang sifat ini dianggap buruk dan tidak diharapkan.
Masih ingat frasa “anggaran bocor” yang digembar-gemborkan Prabowo Subianto saat debat capres 2019 silam? Kata Pak Prabs, dua per tiga anggaran negara bocor, dan ini menandakan bobroknya pengelolaan ekonomi masa pemerintahan Joko Widodo.
Sekarang bayangkan sebuah atap rumah yang bocor saat hujan dan menyebabkan air menetes. Lagi-lagi, sama halnya dengan air, uang juga menetes.
Dalam hal ini, verba “menetes” bahkan dilegitimasi secara akademik dalam konsep trickle-down effect pada disiplin ekonomi pembangunan (Paul Streeten, The Frontiers of Development Studies, 1972).
Trickle-down effect umum dijalankan pada negara kapitalis dengan cara mendukung orang-orang kaya agar semakin kaya. Harapannya, kekayaan mereka akan menetes ke bawah dalam bentuk lapangan kerja bagi masyarakat miskin.
Presiden Soeharto mengadopsi konsep ini pada masa pemerintahannya dan gagal. Bukannya menetes, uang hanya merembes tipis-tipis. Konsep trickle-down effect agaknya memang tidak cocok diterapkan di Indonesia—apalagi untuk masa sekarang.
Lagi pula, terdengar tidak adil jika rakyat kecil hanya mendapat tetesan, sementara orang kaya (yang jumlahnya 1 persen dari total populasi) mendapat kucuran, suntikan, maupun gelontoran.
Pada masa-masa lebaran seperti sekarang, banyak orang tidak peduli apakah uang itu menetes, mengucur, ataupun menggelontor: yang penting duitnya cair. [dmr]