BARISAN.CO – Di ajang olimpiade, China merupakan salah satu negara penghasil medali terbanyak. Mengutip Topendsports, mereka saat ini berada di urutan keenam sedunia. Banyak prestasi yang berhasil mereka torehkan di banyak cabang olahraga.
Sayangnya, hasil positif tersebut ternyata tak merembet ke prestasi sepak bola mereka. Di level Asia saja, mereka tidak dijagokan sebagai tim kuat. Sebab, mereka belum pernah sekalipun merengkuh trofi Piala Asia.
Capaian terbaik China di Piala Asia adalah menjadi runner up pada 1984 dan 2004. Di Piala Dunia, mereka hanya mampu lolos sekali pada 2002 lalu. Setelahnya, mereka terus absen dari ajang sepak bola paling bergengsi di dunia itu.
Lantas, mengapa sepak bola China tidak mampu berbicara banyak di level internasional? Apakah karena rakyat China tidak menyukai sepak bola?
Tidak juga. Ternyata Presiden China, Xi Jinping juga menyukai sepak bola. Sebagai orang nomor satu di negaranya, ia pun turut mendukung kemajuan olahraga ‘olah si kulit bundar itu’.
Namun, hal itu nyatanya tak jua mampu mengangkat kemajuan sepak bola China. Tentu ada tanda tanya di balik semua itu.
Kekeliruan Paradigma
Stefan Szymanski, ekonom olahraga asal Michigan University pun menaruh perhatian besar kepada sepak bola China. Ia membagikan analisanya lewat tulisan berjudul “Why China Doesn’t Dominate Soccer?” di Washington Post (18/06/2018).
Szymanski menemukan kekeliruan paradigma China dalam membangun sepak bolanya. Yakni, menurutnya, China keliru memukul rata menyamakan sepak bola dengan olahraga lainnya.
Olahraga China memang besar dengan kedisiplinan dan kerja keras mereka. Namun, sepak bola tidak cukup hanya dua hal itu. Sepak bola menurutnya juga soal kreativitas.
Memang, aspek kedisiplinan dan biomekanika dalam olahraga adalah faktor yang mendongkrak level seorang pemain. Dalam sepak bola, ada hal yang lebih krusial lagi dari dua hal itu. Johan Cruyff, legenda sepak bola Jerman pernah mengatakan, sepak bola itu sebetulnya olahraga otak dan kaki hanyalah alat. Karenanya, tidak ada panduan textbook soal kriteria fisik paling ideal dalam sepak bola.
Szymanski melihat kultur China yang kaku dalam ‘memaksa’ atlet-atlet untuk patuh pada aturan cukup dominan, sedangkan hal tersebut kontradiktif dengan aspek kreativitas. Sebab, pemain sepak bola tidak hanya harus mampu menguasai banyak skill, tetapi di setiap permainannya ia akan sering dihadapkan pada pengambilan keputusan (decision making).
Karena itulah, menurutnya, biarkanlah bola mengalir bebas dari kaki ke kaki para pemain. Cara China yang kaku itulah justru terkesan mendikte permainan pemainnya.
Ambisi China
Kembali lagi ke soal China sebagai salah satu negara pengumpul medali olimpiade terbanyak di dunia, sejatinya mereka punya ambisi besar membangun kejayaan olahraga. Tak ketinggalan juga dengan cabor sepak bola, sebagai olahraga terfavorit di dunia.
Berdasarkan News 18, pada Olimpiade Tokyo 2021, raihan medali China bertambah dari olimpiade sebelumnya. Mereka berhasil mengemas 38 medali emas, sekaligus menjadikan mereka runner up membayangi Amerika Serikat sebagai pemuncak di medal table.
Semua kehebatan itu China bangun sejak 2008 lalu. Mereka secara serius menggarap proyek sistem scouting olahraga. Bahkan, mereka sudah merekrut dan melatih calon atletnya sejak usia mereka masih sekitar 3-5 menit. Selain itu juga mereka membentuk banyak akademi olahraga, terhitung mulanya mereka hanya memiliki 300 akademi dan kini sudah bertambah menjadi 2.000 akademi.
Pun, sepak bola juga termasuk di dalam proyek ambisi China tersebut. Namun, hasil positif tak kunjung juga diperoleh. Lantas, apakah ‘kreativitas’ yang dikatakan oleh Szymanski adalah pangkal masalahnya? Menarik menantikan masa depan sepak bola ke depan.