Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menyampaikan selama ini pemerintah sepertinya belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya konsep utang.
BARISAN.CO – Pembicaraan ihwal Utang sebaiknya dibicarakan dalam rangka membangun sebuah konsep “cara menghitung utang.” Selama ini pemerintah sepertinya belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya konsep utang.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun pada gelar Diskusi Twitter Space INDEF dengan tema Utang Meningkat, Kapasitas Fiskal Mengkeret, Selasa (7/06/2023) malam.
Menurut Misbakhun yang selama ini dicatat dan diakui oleh pemerintah dalam laporan Keuangan Pemerintah pusat yang terdapat Neraca Keuangan. Neraca harus menggambarkan semua jumlah utang negara.
“Yang dicatat selama ini dalam setiap ketengan dan penjelasan yang dilakukan pemerintah tentang utang kita belum melewati batas dan belum melanggar ketentuan konstitusi. Harus disampaikan, bahwa konsep itu harus diperbaiki nalar berpikirnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Misbakhun menyampaikan jika Menteri Keuangan selalu mengatakan utang RI masih 39% dari PDB, dan membandingkanya dengan utang USA, Inggris, Jerman dan Jepang yang hampir 200% terhadap PDB Jepang, sebenarnya perbandingan itu tidak aple to aple dan tidak fair.
“Karena yang dicatat oleh pemerintah 39% PDB itu hanya utang terkait pembiayaan APBN. Sebetulnya pemerintah punya utang lain yang memberikan risiko kepada APBN dan keuangan Negara,” ujarnya.
Misbakhun menambahkan pemerintah harus mengambil keputusan politik penting untuk memperbaiki cara kita mencatat. Dari itu, kita akan tahu berapa persen rasio, risiko utang. Manfaatnya risiko gagal bayar bisa diantisipasi baik di BUMN, Surat utang negara, dan dana pensiun.
“Sayangnya Menteri Keuangan ketika disampaikan hal hal penting di atas tidak menyambut dengan baik,” terangnya.
Peneliti INDEF, Riza Annisa Pujarama menyampaikan utang pemerintah pusat per April 2023 berada pada angka Rp7,800 triliun. Utang publik tercatat di Bank Indonesia (BI) per 2022 jumlah total Rp14.000 triliun.
“Di dalamnya terdapat utang pemerintah pusat dan daerah, utang BUMN karya dan BUMN finansial yang bergerak di keuangan/perbankan. Jika banknya bangkrut maka risikonya kembali ke pemerintah,” sambungnya.
Sementara itu, Dr Eisha M Rachini mengatakan sampai pada periode ke-2 pemerintahan Jokowi ada peningkatan utang sebanyak 10% dari 2016 ke 2017.
“Memang agak melambat pada tahun-tahun belakangan. Tapi yang penting adalah penambahan utang seharusnya menjadi leverage pada pertumbuhan ekonomi. Apakah utang itu digunakan pada hal hal produktif yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” imbuh Peneliti INDEF ini.
Eisha mempertanyakan spakah ada skema program pembangunan yang mangkrak dan sebagainya tentu harus dikawal. Termasuk pembayaran utang setahun Rp1.000 triliun (pokok dan bunga) yang jika harus dibagi per populasi satu orang menanggung Rp28 juta.
“Yang jelas, ke depan seharusnya kapasitas fiskal kita harus meningkat bukannya berkurang dan bukan gali lubang tutup lubang. Bagaimana caranya Penerimaan negara harus lebih besar dari pengeluaran,” pungkasnya. [Luk]