Anomali terjadi di pelbagai aspek kehidupan. Secara umum dapat diformulasikan dalam frasa bahwa “makna transendensi atau makna esoteris dari bulan ramadhan belum sepenuhnya terwujud perilaku secara nyata dalam kehidupan keseharian umat pada aspek eksoteris, modernitas, liberalitas, humanitas, dan sebagainya”.
Prilaku anomali, meminjam pendapat Haedar Nashir, ibarat dramaturgi, sesuatu yang semu laksana permainan sandiwara di panggung. Mirip dramaturgi, Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life (1959). Dimana seseorang akan menampilkan presentasi diri di depan pentas yang serba-termanipulasi, baik diri maupun segala aksesorinya, sehingga memuaskan penonton atau khalayak umum. Sementara, di belakang panggung, semua drama di pentas itu diatur dan dimanipulasi sedemikian rupa, yang tentu saja kata Nashir lagi, publik tidak mengetahui perangai yang sesungguhnya.
Bentuk-bentuk nyata dari anomali di bulan ramadhan adalah belum sepenuhnya terjadi kesepadanan antara kemeriahan dalam mensikapi bulan ramadhan dengan kedalaman, penghayatan dan perilaku nyata sebagian umat. Contohnya, seperti diilustrasikan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Biyanto, yakni: pertama prilaku boros dan konsumtif melalui kebisaan suka berbelanja secara berlebihan saat ramadhan. Kedua perilaku tidak sabar. Ketiga, perilaku bermalas-malasan dengan alasan berpuasa.
Metafora lainnya untuk melukiskan masih terlalu menguatnya ritualitas umat di bulan ramadhan bisa ditambahkan dengan begitu cepatnya terjadi degradasi dalam frekuensi melaksanakan shalat tarawih atau shalat subuh berjamaah di masjid. Bila di sekitar dua puluh hari di bulan ramadhan masjid penuh dengan jamaah, maka di sepuluh hari akhirnya justeru umat ‘menyemut’ di pasar modern atau tradisional untuk memenuhi berbagai kebutuhan jelang dan saat Lebaran.
Anomali Lainnya
Perilaku negatif lainnya atau keempat di bulan ramadhan makin meningkatnya intensitas penggunaan gatget khususnya di media sosial untuk hal-hal yang tidak positif dan produktif, atau sekadar ngabububurit. Bahkan tidak jarang digunakan untuk bergosip ria, menyebarkan informasi ujaran kebencian, hoaks, dan sebagainya. Dalam kontek ini ada trend, penggunaan gadget atau handphone untuk kegiatan positif dan produktif dari sisi ibadah atau keilmuwan masih kurang dibandingkan dengan yang negatif.
Pada saat yang sama, di bulan ramadhan pula terjadi trend komodifikasi siaran atau program bertajuk keagamaan/dakwah di kebanyakan televisi swasta, terutama dalam bentuk reality show. Padahal isi siarannya didominasi lawakan, joke, atau hiburan. Pada satu sisi hal ini sah-sah saja karena mengandung unsur edukasi, dan tuntunan. Namun dampaknya, ramadhan lebih menonjol aspek tontonan atau hiburan. Maka fenomena merebaknya siaran televisi swasta di bulan ramadhan lebih tepat disebut sebagai dakwahtainment atau ramadhantaiment.
Satu paket dengan ramadhan adalah tradisi mudik jelang Idul Fitri yang juga banyak terjadi anomali. Pada dasarnya mudik mengandung unsur positif karena menjadi arena silaturahmi dengan sanak keluarga, teman dan handai taulan. Negatifnya, tidak jarang harus menguras kocek sangat dalam yang sudah susah payah dikumpulkan sebelum Idul Fitri sehingga paska Idul Fitri mengalami defisit keuangan. Bahkan sebagian pemudik rela melanggar protokol kesehatan Covid-19.