Anomali Lainnya
Perilaku negatif lainnya atau keempat di bulan ramadhan makin meningkatnya intensitas penggunaan gatget khususnya di media sosial untuk hal-hal yang tidak positif dan produktif, atau sekadar ngabububurit. Bahkan tidak jarang digunakan untuk bergosip ria, menyebarkan informasi ujaran kebencian, hoaks, dan sebagainya. Dalam kontek ini ada trend, penggunaan gadget atau handphone untuk kegiatan positif dan produktif dari sisi ibadah atau keilmuwan masih kurang dibandingkan dengan yang negatif.
Pada saat yang sama, di bulan ramadhan pula terjadi trend komodifikasi siaran atau program bertajuk keagamaan/dakwah di kebanyakan televisi swasta, terutama dalam bentuk reality show. Padahal isi siarannya didominasi lawakan, joke, atau hiburan. Pada satu sisi hal ini sah-sah saja karena mengandung unsur edukasi, dan tuntunan. Namun dampaknya, ramadhan lebih menonjol aspek tontonan atau hiburan. Maka fenomena merebaknya siaran televisi swasta di bulan ramadhan lebih tepat disebut sebagai dakwahtainment atau ramadhantaiment.
Satu paket dengan ramadhan adalah tradisi mudik jelang Idul Fitri yang juga banyak terjadi anomali. Pada dasarnya mudik mengandung unsur positif karena menjadi arena silaturahmi dengan sanak keluarga, teman dan handai taulan. Negatifnya, tidak jarang harus menguras kocek sangat dalam yang sudah susah payah dikumpulkan sebelum Idul Fitri sehingga paska Idul Fitri mengalami defisit keuangan. Bahkan sebagian pemudik rela melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Dalam pada itu, mudik dan Idul Fitri tidak jarang berubah menjadi instrumen reproduksi nilai, perilaku atau gaya hidup (life style) negatif. Seperti pamer kemewahan, materialisme, hedonisme di kampung halaman. Dampaknya menstimulus masyarakat desa untuk menjiplak untuk juga bersikap materialistik dan hedonistik dari orang kota (pemudik). Atau bermigrasi ke kota untuk menggapai sukses. Bahkan tanpa bekal keterampilan memadai, sekalipun.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah nilai-nilai kejujuran yang menjadi salah satu esensi ramadhan belum sepenuhnya build in atau mengalami proses kulturisasi (culturized) dengan perilaku sebagian kaum puasa (shoimin), khususnya di kalangan elitnya. Hal ini dibuktikan dengan makin menguatnya hipokrisi yang dipertontonkan oleh sejumlah elit secara telanjang mata kepada publik. Hal ini bukan saja berdampak kepada terjadinya krisis keteladanan, juga terhadap krisis keberagamaan.