Ada air yang dikonsumsi secara nyata, ada yang secara tidak nyata. Yang kedua disebut air virtual.
SETIAP hari kita mengkonsumsi air. Di antaranya untuk minum, masak, cuci, mandi, bersih rumah, serta keperluan ibadah. Ini adalah air yang secara nyata kita konsumsi. Namun ada air yang kita konsumsi secara tidak nyata.
Ia adalah air yang kita gunakan untuk menghasilkan sebuah produksi yang kita konsumsi. Beras yang kita masak, bayam yang kita sayur, buah-buahan yang kita makan langsung ataupun yang kita jadikan jus, semuanya membutuhkan air dalam proses produksinya. Para ahli menyebut air ini secara konsep sebagai air virtual.
Konsep air virtual pertama kali dikenalkan oleh Tony Allan pada awal tahun 90-an dan pertama kali diangkat dalam pertemuan internasional pada Desember 2002, di Delft, Belanda.
Menghitung kebutuhan air nyata relatif mudah. Survei Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan konsumsi air nyata rumah tangga di Indonesia untuk berbagai keperluan rata-rata sebesar 144 liter per orang per hari.
Tapak Air
Lalu bagaimana menghitung air virtual? Caranya adalah menelusuri kebutuhan air untuk setiap proses produksi. Cara ini disebut dengan tapak air (water footprint).
Sebagai misal, beras. Untuk menghasilkan beras maka harus menghitung berapa kebutuhan air untuk menanam padi hingga panen per hektar. Lalu menghitung produksi padi per hektar. Kebutuhan air untuk mengeringkan, menggiling, dan mengepak dan mengirimkan ke tujuan.
Dengan cara ini, tapak air untuk beras akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada cara tanam, teknologi yang digunakan, dan sebagainya.
Tapak air untuk beberapa komoditas pertanian pertama kali dikaji oleh Mekonnen dan Hoekstra pada tahun 2014. Rerata dunia tapak air untuk beras sebesar 1.673 meter kubik per ton. Jagung sebesar 1.222 meter kubik per ton. Dan kedelai sebesar 2.144 meter kubik per ton.
Dengan rerata dunia, tapak air untuk komoditas pertanian tersebut di Indonesia beragam. Tapak air beras dan jagung di atas rerata dunia, bahkan hampir dua kali lipat. Sementara untuk kedelai di bawah rerata dunia.
Tapak air beras sebesar 3.473 meter kubik per ton, jagung sebesar 2.483 meter kubik per ton, dan kedelai sebesar 1.958 meter kubik per ton.
Dengan konsep tersebut, air virtual sangat mudah dipertukarkan. Sebagian wilayah mengekspor, sebagian lain mengimpor.
Ekspor-Impor Air
Jika Anda membaca tulisan ini sambal menikmati sate kambing yang kambingnya berasal dari Cilacap, ditusuk dengan bambu dari Tasikmalaya, dilengkapi bawang merah dari Brebes, cabe dari Malang, kecap yang diproduksi di Semarang, dan nasi Rojolele dari Delanggu, maka sesungguhnya Anda sedang mengimpor air virtual dari daerah-daerah tersebut.
Pertukaran air virtual dapat terjadi antarnegara di dunia dan antarprovinsi di suatu negara. Di Indonesia, menurut Laporan UNESCO–IHE tahun 2009, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh merupakan provinsi pengekspor air virtual. Sementara itu provinsi pengimpor air virtual terbesar adalah Jakarta, Jawa Barat, Riau, dan Banten.
Pada level internasional, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor air virtual. Negara-negara seperti Amerika, Cina dan Kanada mengekspor air virtual jauh lebih besar daripada Indonesia.
Ada kira-kira 90% air virtual terpakai untuk proses produksi pertanian. Artinya, seharusnya Indonesia juga menjadi pengekspor hasil-hasil pertanian.
Sayangnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia masih menjadi negara pengimpor bahan pangan seperti kedelai, beras, kacang tanah, kacang hijau jagung, dan ubi jalar. Pada tahun 2021, jumlah impor kedelai menempati peringkat teratas. Dalam tiga tahun terakhir, volume impor bahan makanan dan minuman cenderung meningkat.
Masih tingginya tapak air untuk beberapa komoditas pertanian Indonesia menjelaskan fenomena di atas. Perbaikan teknologi dan teknik bercocok tanam perlu mendapatkan perhatian serius untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya air. Tentu juga perbaikan dalam pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh. [dmr]