TEATER di pantai utara (pantura) Jawa Tengah jarang disebut dalam peta teater nasional. Lebih dikenal teater di Solo atau Yogya. Sejak di Yogya Bengkel Teater Rendra, atau Sardono W Kusumo Solo, teater pantura tampaknya tidak ada dalam radar teater nasional.
Meski pada 1960-an itu, Rendra Yogya dan Arifin C Noer Jakarta telah membuat jaringan ke kota-kota pantura. Tegal atau Pekalongan adalah kota-kota pantauan mereka. Rendra pernah menulis pentas drama Tegal, “Penggali Kapur”. Atau Arifin pernah monolog di Tegal, “Bahayanya Racun Tembakau”.
Komunitas Panggung Pantura meriset kehidupan teater di Jawa Tengah. Dari duabelas kota dan kabupaten, kehidupan teater pantura Jateng tampaknya baik-baik saja. Tentu ada perbedaan dari dari Brebes hingga Kudus. Baik perbedaan latar sosial budaya maupun kendala yang ada.
Sebutlah seperti Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Semarang, Ungaran, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang. Degup teater mengalami pasang surut. Tak lain karena seni teater mempunyai cost yang lebih tinggi dari seni lain.
Dari proses latihan yang minimal dua bulan, hingga pementasan yang membutuhkan biaya besar. Termasuk, misalnya, sewa gedung. Dalam pada itu masyarakat penonton teater tampaknya tidak memiliki apresiasi atau perhatian terhadap seni panggung satu ini.
Dalam satu wawancara, saya mengemukakan, tentang perbedaan geriap teater di era sebelum dan sesudah reformasi. Sebelum reformasi, kehidupan teater di kota dan kabupaten begitu marak.
Contoh di Kota Tegal pada waktu itu sekurangnya ada lima grup teater aktif. Di Kota Semarang bahkan mencapai tigapuluh lebih grup teater. Hingga perlu dibentuk Koordinator Grup Teater Semarang (KGTS).
Masuk era reformasi grup-grup teater di berbagai kota mengalami tidur panjang. Di Tegal tinggal Teater RSPD yang hidup, itu pun jarang sekali pentas. Di Semarang pun sama, tinggal Teater Lingkar yang masih eksis. Itu terlepas dari degup teater kampus yang pun sifatnya insidental.
Dalam acara Panggung Teater Pantura baru-baru ini, pembicara Afrizal Malna mengungkap mengenai pentingnya mengangkat latar sosial budaya Pantura sebagai jiwa teater yang ada. Ialah melalui riset, yang itu akan membentuk karakter bentuk pertunjukannya.
Dia juga menyinggung tentang Tegal yang pada seputaran 1980-1990 menjadi titik pusat jagad teater di Pantura. Soalnya, kata Afrizal, adakah usaha melakukan riset sosial budaya, khususnya kehidupan Teater RSPD itu sendiri.
Tegal memiliki watak jalan raya Pantura dengan bis atau truk. Kenapa tidak, ujarnya, ada teater yang dipertunjukkan di bak truk secara keliling. Atau di Tegal ada ciri poci dll, itu menarik kalau dilakukan riset dan menjadi ikon satu teater.
Lanjut Martin Suryajaya mengungkap mengenai keterpengaruhan. Misalnya Tegal sebagai kota lintas barat-timur, utara-selatan, ada keterpengaruhan dari lintas barat Jakarta-Semarang-Surabaya. Atau lintas selatan Solo atau Yogya. Keterpengaruhan inilah yang membentuk kehidupan teater di Tegal.
Pada gilirannya Afrizal melempar tanya: apakah dunia teknologi modern hingga Artificial Intellegence (AI) akan membentuk wajah teater ke depan. Mengingat generasi milenial kita hingga Gen Z, lebih suntuk di depan layar laptop, ketimbang latihan berhari-hari di lapangan terbuka.
Sepertinya kita tengah menunggu bentuk teater AI dengan harap-harap cemas. Mungkinkan kehidupan teater kita akan berubah bentuk dan content, cukup dengan meng-klik aplikasi AI. Lalu pelaku teater sebagai manusia akan semakin terkubur teknologi. [Luk]