Meski telah dilokasikan dari saldo SAL bernilai terbesar selama sejarah APBN, kebutuhan berutang masih tetap sangat banyak. Terutama karena dampak Pandemi yang membuat defisit sangat lebar dan kebutuhan pembiayaan menjadi meningkat secara luar biasa. Defisit APBN direncanakan sebesar Rp1.039,22 triliun dan pembiayaan utang sebesar Rp1.220,46 triliun.
Pemerintah bisa dikatakan telah berhasil menyediakan pembiayaan anggaran, yang tampaknya akan mencapai atau mendekati target hingga akhir tahun. Akan tetapi, realisasi belanja dan pengeluaran pembiayaan justeru belum optimal.
Meski secara persentase masih lebih baik dari tahun 2019, namun tetap ada kelebihan pembiayaan yang cukup besar. Defisit tercatat Rp834 triliun, namun pembiayaan yang tersedia telah mencapai Rp1.105 triliun. Terdapat kelebihan pembiayaan sebesar Rp221 triliun.
Secara keseluruhan serapan belanja telah mencapai 84,2% hingga akhir November, dan diprakirakan di kisaran 99% sampai akhir tahun. Namun, ada aspek pengeluaran yang butuh perhatian serius. Salah satunya, laporan realisasi belanja terkait Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sejatinya masih jauh untuk disebut optimal.
Pemerintah masih mengklaim bahwa realisasi PEN mencatat tren penyerapan positif sejak Semester I 2020, dan pada akhir kuartal IV ini menunjukkan akselerasi pencairan pada semua kluster. Namun, angka yang disajikan berupa realisasi yang sebesar Rp483,62 triliun hingga 14 Desember 2020.
Artinya, PEN baru terealisasi sebesar 69,6% dari pagunya yang sebesar Rp695,2 triliun. Padahal, dominasi narasi dan sosialisasi adalah besaran yang Rp695,2 triliun tersebut. Perhatikan pula, bahwa yang disajikan adalah realisasi hingga 14 Desember, sementara realisasi besaran lainnya dalam konferensi Pers APBN Kita beberapa waktu lalu adalah posisi akhir November.
Pemerintah memang mengatakan akan terus memastikan agar program PEN tetap relevan dan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat sesuai kondisi ekonomi terkini. Dijanjikan akan segera mencapai lebih dari 90%. Janji yang cukup berat untuk dipenuhi, dalam 2 minggu tersisa, menambah capaian lebih dari 20% dari pagu, atau serapan menjadi sekitar Rp625 triliun.
Oleh karena pembiayaan anggaran didominasi oleh pembiayaan utang, maka dapat diartikan berutang jauh lebih cepat dan besar dari kebutuhannya selama tahun 2020.
Ini merupakan pilihan kebijakan, yang mestinya didasari berbagai pertimbangan teknis dari pengelolaan APBN. Apalagi di tengah tingginya ketidakpastian akibat pandemi covid-19. Namun, berkonsekwensi membayar biaya utang yang menjadi lebih banyak jika dilihat dari waktu berutangnya.
Jadi bagi yang mengkritik Pemerintah sudah tidak punya duit. Dari sisi kas, justeru sedang banyak-banyaknya. Duit utangan sudah masuk lebih dahulu. Tentu bisa didiskusikan apakah besaran kelebihan selama ini, khususnya tahun 2020, itu merupakan kebijakan yang tepat.
Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri