APBN 2022 disusun sebagai anggaran yang bersifat defisit, rencananya sebesar Rp840,23 Triliun. Ternyata Pendapatan Negara jauh melampaui target, sedang Belanja Negara hanya sedikit di atas rencana, sehingga realisasi defisit bisa ditekan menjadi Rp460,42 Triliun. Akan tetapi karena berutang jauh lebih banyak, maka justeru terdapat kelebihan duit sisa anggaran.
Dalam realisasinya sepanjang tahun, berutang memang dilakukan terlebih dahulu agar tersedia dana yang bisa langsung dipakai. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen utama memperoleh utang baru dilakukan beberapa kali hampir tiap bulan.
Berutang dilakukan tidak hanya untuk menutupi defisit anggaran, melainkan juga untuk membiayai pengeluaran selain belanja. Antara lain untuk investasi dan pemberian pinjaman. Tidak dimasukan dalam pos belanja, karena sifat pengeluarannya menimbulkan hak di masa mendatang. Seperti kepemilikan modal, bagi hasil investasi dan pengembalian pinjaman.
Pembiayaan investasi antara lain kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Lembaga/Badan Lainya, dan Lembaga atau Badan Usaha Internasional. Sedangkan pinjaman diberikan kepada BUMN, BLU, Pemerintah Daerah, dan Badan lainnya.
Berutang baru juga diperlukan untuk membayar pelunasan pokok utang lama. Pada tahun 2022, Pemerintah melunasi SBN yang jatuh tempo atau dibeli kembali (buy back) sebesar Rp438,64 Triliun. Sedangkan pembayaran pinjaman dalam dan luar negeri sebesar Rp81,21 Triliun. Total keduanya mencapai Rp519,85 Triliun.
Kebutuhan untuk menutupi defisit, pembiayaan investasi dan pelunasan pokok utang lama membuat penerikan utang baru masih sangat besar. Penerbitan SBN mencapai Rp1.097,46 Triliun, penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp65,59 Triliun, dan penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp10,13 Triliun. Total penarikan utang baru pada tahun 2022 mencapai Rp1.173,18 Triliun.
Secara keseluruhan, terdapat kelebihan anggaran pada tahun 2022 yang dikenal sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) mencapai Rp130,56 Triliun. Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2022, realisasi APBN memang cenderung mengalami kelebihan pembiayaan. Hanya pernah terjadi kekurangan pembiayaan pada tahun 2005 dan tahun 2007.
Secara rerata, selama periode 2005-2009 dialami kelebihan sebesar Rp18,30 triliun per tahun. Sebesar Rp32,22 triliun pada periode 2010-2014. Sebesar Rp33,21 triliun pada periode 2015-2019. Dan pada tiga tahun terakhir SiLPA tercatat sangat besar, dan mencapai rekor pada tahun 2020 yang sebesar Rp245,60 Triliun.
Kelebihan pembiayaan pada satu tahun anggaran tidak otomatis dapat dipakai atau dimasukkan ke dalam APBN tahun berikutnya. SiLPA masuk dahulu ke dalam akun akumulasi yang disebut sebagai Saldo Anggaran Lebih (SAL). Penggunaan SAL dalam suatu tahun anggaran harus melalui mekanisme penetapan APBN. Besarannya tidak secara langsung berhubungan dengan SiLPA tahun anggaran sebelumnya.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2022 menginformasikan tentang perubahan SAL. Antara lain disajikan bahwa saldo awal, artinya dari 1 Januari 2022 yang pindahan akhir tahun 2021, sebesar Rp337,78 Triliun. Tidak ada penggunaan selama tahun 2022, sedangkan realisasi SiLPA sebesar Rp130,56 Triliun. Penyesuaian SAL sesuai aturannya sebesar Rp10,62 Triliun. Dengan demikian, pada akhir tahun 2022 terdapat saldo SAL sebesar Rp478,96 Triliun.
Saldo SAL akhir tahun 2022 itu dilaporkan tersimpan pada beberapa akun. Diantaranya yang terbanyak berada pada saldo akhir Kas Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp394,10 Triliun. Pada saldo akhir Kas pada Badan Layanan Umum (BLU) yang sudah disahkan sebesar Rp78,97 Triliun. Pada saldo Akhir Kas di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebesar Rp2,77 Triliun.
Meskipun APBN mengalami defisit yang lebar atau tekor selama tiga tahun terakhir, Pemerintah justeru sedang memiliki banyak uang. Duit utangan terus masuk dan melebihi kebutuhan tiap tahunnya.
Bisa dimengerti sebagai kehati-hatian dalam mengelola arus kas negara. Tidak terbayangkan, jika tak tersedia dana pada waktu harus membayar gaji pegawai atau kewajiban yang amat segera. Apalagi ketika pandemi sedang ganas melanda pada tahun 2020 dan 2021. Akan tetapi, fenomena SiLPA dan SAL mengindikasikan pengelolaan APBN kurang terencana dengan baik. Yang cukup jelas adalah tidak efisien. Salah satu yang paling menyolok berupa pembayaran bunga utang menjadi lebih banyak karena berutang melebihi kebutuhan serta waktu penarikan yang tak tepat. [rif]