PERADABAN manusia sedang mengalami guncangan. Singgasananya perlahan mulai digeser dan potensi digusur. Dipercaya akan ada yang lebih canggih dan hebat dari manusia.
Namanya robot. Bukan sembarang robot. Tapi robot yang sudah dilengkapi kecerdasan buatan.
Isi otak robot telah ditanam di dalamnya semua jenis pikiran manusia yang berserak di penjuru angkasa (big data). Semua jenis pikiran itu bisa dirangkai, dihubung-hubungkan dan diolah oleh kecerdasan buatan menjadi data atau informasi baru sesuai kebutuhan. “Kamu tanya apa, aku jawab” begitu kira-kira kata robot.
Memang belum sempurna. Tak semua jawaban robot benar dan akurat. Itu juga disadari oleh para pencipta si robot pintar. Sebut misalnya Sam Altman, Bos OpenAI yang keluarkan produk ChatGPT. Katanya, masih banyak kelemahan dari produk charbot buatannya.
Permasalahannya, inovasi dan pembaruan robot pintar ini terus berlangsung. Jika otak robot itu makin sempurna, maka akan banyak yang bisa dijawab dan dikerjakan lebih sempurna. Dalam banyak hal robot akan lebih pintar dan lebih terampil dari manusia. Itu soal waktu. Sekarang sudah mulai ada presenter, direktur, guru, dan lain-lain yang digantikan oleh robot pintar.
Di sisi lain, sebagaimana otak manusia, isinya bukan hanya berisi kebaikan. Robot pintar ciptaan manusia ini bisa juga sebagai perusak, pencuri, pembunuh dan seterusnya. Segala bentuk kejahatan dan keburukan yang pernah dilakukan manusia juga bisa dilakukan robot pintar ini.
Kombinasi pikiran jahat itu oleh kecerdasan buatan, seperti juga pikiran tentang kebaikan, bisa dibuat hal buruk yang lebih canggih dan lebih sempiurna.
Dua peristiwa akan bertemu dan berinteraksi dalam sejarah baru manusia, antara yang konstruktif dan destruktif dengan cara dan gaya baru yang tak ada preseden sebelumnya.
Semua berkat kecerdasan buatan, tapi fungsionalitasnya bergantung untuk apa dan siapa yang memainkan. Produk kebaikan AI mungkin akan bermunculan dan menjawab masalah manusia.
Pada saat yang sama produk jahat juga lahir dengan daya rusak yang mungkin luar biasa besar.
Inilah yang membuat risau banyak kalangan. Elon Musk, salah satu orang yang mencemaskan potensi masalah di balik ramainya robot pintar. Termasuk Geoffrey Hinton yang konon salah satu ‘arsitek’ kecerdasan buatan.
Hinton mundur dari kerjanya di Google karena melihat bahayanya perkembangan AI. Ia mengingatkan “skenario mimpi buruk” ketika “aktor-aktor jahat” menggunakan AI.
Ini bukan semata soal banyak pekerjaan tergusur. Bukan pula semata soal tindak kriminal dan kejahatan. Tapi soal peradaban manusia yang mulai terancam.
Robot-robot pintar itu yang akan melayani sekaligus mengatur manusia. Robot-robot yang tak memiliki hati dan tak mengenal etika. Rezim robot itu yang tak lama lagi akan menguasai singgasana manusia.
Di tengah gegap gempita sambutan publik dunia terhadap inovasi baru ini, Hinton dan banyak pakar lain, termasuk miliarder teknologi Elon Musk, mengusulkan skenario mundur. Skenario itu mencoba menahan dulu perkembangan AI, untuk membuat koridor yang mengurangi risiko buruk.
Persoalan yang dihadapi bangsa manusia hari ini adalah apakah ketika tombol sudah telanjur di pencet, laju perkembangan AI lantas berhenti? Atau sebaliknya, berjingkrak bak kuda liar. Peradaban manusia sedang dalam babak harapan sekaligus kekhawatiran akan keterpurukannya. [dmr]