Saking takjubnya, tak satupun kata-kata mampu keluar dari mulutnya. Dan setelah berjalan melewati beberapa lorong, sampailah Bagal pada sebuah ruangan besar sekali. Di tengah ruangan tersaji aneka makanan di atas sebuah meja besar. Sementara di pinggir-pinggir ruangan belasan perempuan tersenyum padanya sambil mengucapkan selamat datang.
Dan betapa terkejutnya Bagal ketika kursi yang ia dudukipun terbuat dari emas. Tentu saja indahnya melebihi singgasana Sultan yang biasa ia saksikan. Tak lama setelah ia duduk, satu per satu perempuan-perempuan yang ada di ruangan tersebut mulai menyuapinya secara bergantian.
Bagal yang hanya seorang penjaga pintu gerbang merasa ini semua adalah makanan terlezat yang pernah ia santap. Ketika seorang perempuan menyodorkan secawan arak padanya, Bagal terlihat ragu-ragu untuk menerimanya.
“Di surga tak ada larangan minum arak tuanku!” sahut perempuan tersebut seperti tahu persis apa yang tengah dipikirkan oleh Bagal. Suara perempuan itu sedemikian merdunya dan seperti sengaja dibuat-buat untuk mengikis keraguan yang ada di dalam hati Bagal.
Lagi-lagi Bagal hanya dapat menuruti saja kemauan perempuan-perempuan yang mengelilinginya. Seteguk demi seteguk arak yang ada di cawan itupun tandas. Seiring dengan tandasnya arak tersebut, lagi-lagi kegembiraan demi kegembiraan jejal menjejal memenuhi perasaannya. Ia sendiri tak mengerti mengapa bisa demikian.
“Apakah ini Surga? Bagaimana mungkin aku berada di sini? Lalu kapan aku mati?tanya Bagal demi mendengar perkataan perempuan tersebut. Lelaki itu sepertinya tengah berusaha keras untuk menguasai kesadarannya kembali.
“Dan amalan apa gerangan yang telah membuatku masuk surga?” lanjut pertanyaan Bagal. Nada pertanyaan yang tentu saja dihinggapi oleh kebingungan.
“Apakah tuan lupa? Bukankah Tuan telah berjihad?” jawab seorang perempuan yang lain sambil menggelayut manja di tubuh Bagal. Spontan saja darah kelelakian Bagal bergolak bagai magma gunung berapi.
“Bukankah Tuan telah membunuh Sultan yang murtad dan bengis itu? Sambung perempuan itu sekali lagi sembari berbisik. Perempuan itu sepertinya sengaja berbisik agar ia dapat menyentuhkan bibirnya ke telinga Bagal.
Bahkan ia kini mulai berani menggosok-gosokkan pipinya yang sehalus sutera itu pada lengan lelaki berkulit legam tersebut. Terus terang ulah perempuan tersebut telah membuat jantung Bagal berdetak lebih kencang daripada biasanya.
“Mana mungkin aku berani membunuh Baginda Sultan?” tanya Bagal seperti tak percaya. Tampaknya lelaki itu masih terus berusaha keras untuk menguasai kesadarannya kembali dengan sanggahan-sanggahan yang dilontarkannya.
“Ia adalah junjunganku. Baginda adalah pemimpin yang adil dan bijaksana!” bantah Bagal seperti tak yakin dengan ucapan perempuan yang barusan didengarnya tersebut.
“Kami semua yang ada di sini adalah pelayan tuanku. Tuanku telah membinasakan penguasa lalim tersebut. Dan usaha itu telah diganjar sebagai jihad,” sahut perempuan yang lainnya lagi sembari menciumi dada Bagal yang bidang tersebut. Sekali lagi kelelakian Bagal sedemikian bergolak sehingga ia tak kuasa lagi untuk menahannya.
Dan ketika seorang perempuan mencium pipinya, Bagal benar-benar tak lagi mampu membendung birahinya. Namun ketika ia hendak membalas ciuman perempuan tersebut , tiba-tiba saja penglihatannya perlahan-lahan kabur. Segala yang dilihatnya seperti berputar-putar. Makin lama putaran itu semakin cepat. Kepalanya pun kini terasa semakin berat sekali. Dan detik berikutnya ia sudah tak sadarkan diri.