TERUS terang, saya paling menyukai prinsip “pendidikan itu atmosfer”. Prinsip yang mengandaikan peserta belajar akan memperoleh kesempatan berkembang sebagaimana wajarnya. Alamiah.
Pendidikan itu tidak dibuat-buat yang seolah dunia anak-anak. Tidak dikurung dalam suasana yang mengkanak-kanakannya. Bahwa atmosfer itu alamiah persis sebagaimana udara yang begitu adanya dan kita leluasa menghirupnya.
Ada anggapan umum bahwa lingkungan sebagai bagian penting pendidikan. Saking pentingnya, kita, orangtua, kerap berkorban banyak untuk mendesain lingkungan belajar anak sedemikian rupa. Kita menata-kelola ruangan belajar penuh pernak-pernik alat peraga. Penuh aneka corak dan warna-warni.
Padahal, yang mengada-ada, itu justru yang meringkihkan anak. Lingkungan penting, tapi bukan berarti lepas dari kewajaran. Orangtua tidak harus tampil bak bidadari, serba suci, dan bermanis ria, serta tidak boleh menunjukkan stres di hadapan anak. Orangtua juga tak perlu susah merekayasa hidup anak selalu dalam kenyamanan yang terkontrol.
Namun, hal itu juga bukan berarti orangtua bebas melepas anak. Prinsip atmosfer itu berbarengan dengan konsep otoritas orangtua. Anak tetap harus taat pada orangtua, bukan pada tetangga, pun apalagi pada teman-temannya.
Atmosfer itu hadir secara sunatullah. Pasti, anak yang sehat nurani akan senantiasa menghormati otoritas. Dan orangtua berdedikasi adalah yang sanggup membawa diri, selaku wakil Tuhan, mengetengahkan nilai-nilai yang mengembangkan diri dan keluarga.
Sungguh, “pendidikan itu atmosfer” merupakan konsep belajar yang tak jlimet. Tidak berlebih-lebihan. Tetapi juga tidak asal. Sekali lagi saya demen dengan prinsip ini. Prinsip yang tak terikat oleh ruang. Bahwa anak-anak saya sudah tidak seatap, bukan berarti saya berhenti menggarap diri. Karena atmosfer itu lintas batas ruang.
“Atmosfer alamiah itu sudah ada di sekitar anak, sama seperti udara melingkupi kita di bumi ini. Atmosfer itu memancar begitu saja dari manusia dan benda, dipengaruhi peristiwa-peristiwa, dibumbui cinta, diatur dan dikendalikan oleh akal sehat.” ungkap Charlotte Mason.
Dari situlah, betapa saya rada masalah dengan konsep sekolah. Merujuk kritik Ivan Illich, dalam Deschooling Society, atmosfer sekolah itu hanya akan mengungkung guru dan murid dengan rencana. Belajar yang tidak luwes, terikat struktur, dalam hierarki, tidak santai, dan tak lebih mandiri.
Hasrat akan pengetahuan seorang anak, justru acapkali pupus karena sekolah. Sekolah kerap mengumbar hasrat-hasrat manipulatif, seperti: hasrat berkompetisi, hasrat menonjolkan diri, keserakahan, dan hasrat akan kekayaan materi.
Hasrat akan pengetahuan yang semestinya mencipta rasa haus untuk belajar, kandas karena larut dalam urusan remeh, serba permukaan. Anak hanya tertarik sekira ada hadiah, dan nilai bagus. Sehingga tidaklah aneh, kita mendapat kenyataan anak-anak siswa sekolah mau membaca buku yang hanya akan keluar dalam ujian.
Hal ini juga makin tak keruan, kian parah ketika guru hanya menguasai secuil pengetahuan dari buku teks pelajaran. Guru enggan mengembangkan diri. Terpaku hanya pada gaya mengajar yang penuh ceramah bertele-tele, dan latihan-latihan soal. Singkat masalah, sekolah mengajari anak untuk belajar demi ujian. Demi nilai bagus, dan memenangi kompetisi.
Betapa hidup terasa sempit kalau hanya habis buat kompetisi, bukan. Charlotte Mason telah mengamarkan, di ranah akademis, anak harus dikenalkan banyak subjek pengetahuan, dan dari bahan bacaan yang bermutu tinggi.
Bahwa anak didik tidak boleh hanya fokus pada satu mata pelajaran yang disuka, dan supaya bisa mengungguli yang lain. Ibarat tubuh, anak wajib makan yang penuh gizi. Bervariasi, tidak hanya karbohidrat misalnya. Atau protein saja. Tetapi makan yang berkualitas, bervariasi, dan reguler.
Dan Charlotte Mason, lebih dari itu, tidak hanya menyoal ide-ide tinggi dan banyak, tetapi juga menuntut kita untuk benar-benar siap menjadi atmosfer. Menemani anak belajar, dimulai dari mendidik diri sendiri. Meningkatkan mutu diri, dari hari ke hari.
Pelan-pelan saya belajar legawa, baik kepada diri sendiri maupun anak, sebagaimana amaran Charlotte, “hindari rekayasa, tak perlu membuat hidup anak selalu seharum mawar atau seempuk bantal.” [Luk]