Para aktivis mencari nafkah melalui usaha sendiri. Atau sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar terbebas dari “utang budi” dan “investor budi”.
SECARA geografis, Jazirah Arabia sangat kondusif. Terletak di bagian tengah peradaban, sehingga tepat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang moderat.
Dan memang takdir, Muhammad sebagai penutup para nabi, lahir di tengah peradaban tersebut. Seolah menjadi kabar, Islam adalah penyempurna syariat dan akhlak. Mengingat, ajaran para nabi itu berdasar: aqidah, syariat, dan akhlak.
Aqidah para nabi sama, dari Adam hingga Muhammad adalah mengimani Allah dan Hari Akhir, dan berbuat kebajikan/berakhlak.
Sedang syariat, yaitu penetapan hukum yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi, setiap masa kenabian berbeda, karena perkembangan zaman dan tutntutan kemaslahatan satu dengan yang lain berbeda.
Dan Muhammad menyiarkan syariatnya sebagai upaya menyempurnakan akhlak umat manusia.
Kemudian, terkait masa kecil Muhammad, bukan suatu kebetulan jika ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Selang bertahun-tahun berikutnya, ia kehilangan ibu dan kakek. Tuhan memilihkan pertumbuhan demikian, lagi-lagi seolah kabar bahwa sedari dini ia tumbuh dan berkembang jauh dari asuhan bapak, ibu, dan kakeknya. Jauh dari orang-orang terkemuka pada zamannya.
Ia diasuh oleh Abu Thalib, notabene miskin. Pertanda ia sungguh jauh dari tangan-tangan yang memanjakan kasih sayang dan limpahan harta.
Namun, para ahli sejarah sepakat bahwa ladang-ladang Halimah kembali menghijau, usai kekeringan panjang, setelah mengasuh Muhammad. Hal itu mengabarkan, kehadiran dan keberadaan Muhammad menjadi sebab utama datangnya keberkahan dan pemuliaan Ilahi. “Dan, Kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam.”
Ya, Muhammad adalah pembawa rahmat, meski jauh dari keberlimpahan harta.
Bersama Halimah di pedalaman Bani Sa’ad, ada peristiwa pembelahan dada yang dialami Muhammad. Peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak sahabat dan dengan periwayatan yang sahih.
Tujuannya jelas, bukan untuk mencabut “kelenjar kejahatan” di dalam jasad Muhammad, melainkan sebagai “operasi pembersihan spiritual”. Sebuah pengumuman bahwa sedari kecil Muhammad telah dipersiapkan untuk mendapatkan pemeliharaan dan wahyu dari Tuhan.
Lagian begini, jika kejahatan itu memang sumbernya terletak pada kelenjar yang ada pada jasad atau pada gumpalan yang ada pada salah satu bagiannya, nisacaya orang jahat pun seketika menjadi baik bila menjalani operasi bedah. Tetapi toh tidak demikian faktanya.
Memasuki usia remaja, dalam pengasuhan Abu Thalib, Muhammad berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya.
Barangkali hasil yang diperolehnya tidak begitu banyak dan penting bagi pamannya, tetapi upaya Muhammad ini merupakan akhlak yang menandakan rasa syukur, kecerdasan watak, dan kebaikan perilakunya.
Hal itu menjadi pengabaran hari ini bahwa harta yang terbaik adalah harta yang diperoleh dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan”, bukan yang diperoleh tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan kepada masyarakat.
Yang demikian juga sebagai “kritik”, sedianya para aktivis Islam tidak bergantung pada pemberian atau sedekah dari masyarakat.
Artinya, para aktivis mencari nafkah melalui usaha sendiri. Atau sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar terbebas dari “utang budi” dan “investor budi”.
Dari buku-buku sirah, saat Muhammad masih demikian, Tuhan melindungi dia dari semua bentuk penyimpangan. Kendati belum mendapat wahyu, ia telah mendapat perlindungan yang tersamar yang menghalanginya dari memperturutkan nafsu.
Riwayat-riwayat menceritakan bahwa ia tidak pernah menitipkan kambing gembalaannya kepada temannya untuk turun ke kota Makkah, turun berhura-hura. Sedari itu ia dikenal sebagai al-Amin, seorang pemuda yang terpercaya.
Berkat kejujuran dan kemuliaan pribadi Muhammad, Khadijah, seorang wanita pedagang yang mulia dan kaya, mengaguminya.
Khadijah memercayakan perniagaan ke luar kota Makkah kepada Muhammad. Khadijah terkejut dengan keberkahan yang diperolehnya dari perniagaan yang dijalankan Muhammad. Khadijah akhirnya benar-benar tertarik pada kejujuran pemuda Muhammad. Khadijah menyatakan hasratnya untuk menikah dengan Muhammad melalui sahabatnya, Nafisah binti Muniyah.
Nah, sehubungan dengan pernikahan yang dijalani Muhammad bersama Khadijah, saya mendapat pelajaran penting bahwa Muhammad sama sekali tidak memerhatikan faktor kesenangan jasadiah. Padahal sebagai pemuda yang berusia 25 tahun, apalagi ia terkenal gagah dan rupawan, ia gampang mencari gadis yang lebih muda atau minimal yang tidak lebih tua darinya.
Biduk keluarga mulia itu pun berlangsung hingga Khadijah meninggal dunia pada usia 65 tahun, sementara Muhammad telah mendekati usia 50 tahun, yang selama itu ia monogami. Padahal usia antara 25 sampai 50 tahun merupakan masa bergejolaknya kecenderungan untuk menambah istri.
Dan, seandainya Muhammad mau memadu Khadijah, jelas adat atau kebiasaan masyarakat Makkah saat itu tidak menentangnya. Terlebih, Muhammad menikahi Khadijah yang berstatus janda dan jauh lebih tua.
Pada rentang usia 25-50, persisnya usia 40 tahun, Muhammad kerap tenggelam dalam khalwat di Gua Hira.
Suatu hari dalam khalwatnya, Muhammad dikejutkan oleh Jibril yang berkata, “Bacalah!” Hal ini bukti pula bahwa fenomena wahyu bersumber dari luar, yang tak berkaitan dengan inspirasi, pancaran jiwa, atau intuisi si penempuh.
Dekapan Malaikat terhadap Muhammad, kemudian melepaskan hingga tiga kali yang setiap kalinya mengatakan “bacalah” merupakan penegasan terhadap hakikat wahyu Al-Quran.
Timbul rasa takut dan cemas dalam diri Muhammad ketika mendengar dan melihat Jibril, hingga ia pun memutuskan berhenti berkhalwat dan segera pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Muhammad sungguh gundah, mengira makhluk Jin tengah merasuki dirinya.
Dari situ tergambar, betapa ia sama sekali tak tebersit akan mendapatkan wahyu. Tidak pernah merindukan risalah. Wahyu juga tidak datang bersamaan atau untuk menyempurnakan usaha Muhammad dalam beruzlah.
Sesampai di rumah, ia menggigil dan meminta Khadijah menyelimutinya. Ia benar-benar mengalami rasa takut, karena berdiam di Gua Hira sama sekali tak berpikir hendak menjadi seorang nabi. Ia menjalani uzlah bukan lantaran ambisi supaya diangkat sebagai rasul.
Begitulah, awal fragmen sang Nabi Saw. yang saya petik dari paparan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthy dalam buku The Great Episodes of Muhammad.