Anies Baswedan selalu mendapat serangan hebat dari semua pihak sejak ia maju pemilihan gubernur sampai sekarang.
BARISAN.CO – Sejak Pilgub (Pemilihan Gubernur) 2017, Anies Baswedan acap kali diserang berbagai pihak terutama buzzer. Serangan itu masih berlanjut hingga masa pemilihan presiden 2024 sekarang.
Ekonom senior Awalil Rizky, dalam sebuah kesempatan, mempertanyakan alasan mengapa banyak pihak begitu berlebihan kepada Anies. Padahal, ada banyak nama calon, namun hanya Anies yang diserang.
“Mohon maaf nih, Pak Prabowo tak diserang seekstrem Anies, lho. Sebenarnya yang dulu mendukung Prabowo kemudian tidak mendukung, lebih punya kesempatan untuk menyatakan hal-hal buruk tentang Prabowo,” kata Awalil.
Begitu juga dengan yang lain, kata Awalil, tidak ada satu pun calon presiden yang diserang sekeras dan seintens Anies. Bahkan, Awalil keheranan saat Pilgub 2017, Anies sempat dianggap liberal.
“Mas Anies dianggap liberal karena Rektor Universitas Paramadina, padahal di sana banyak orang-orang Islam. Tapi anehnya, tiba-tiba dari liberal tuduhannya berubah menjadi radikal,” tambahnya.
Anies Baswedan juga sering dianggap pandai beretorika, yang menurut Awalil tanda-tanda orang yang membencinya kehabisan bahan untuk menyerang.
Awalil secara blak-blakan bahkan menyebut upaya penggiringan opini itu tidak sepele. Dia menuturkan, kalau orang yang tidak pernah ke Jakarta dan tidak tahu sejarah hidup Anies, kemungkinan besar akan termakan omongan buzzer.
Banyak contoh kasus pada soal tersebut. Sempat viral pernyataan Fritz Alor Boy, seorang yang pernah menjadi pendukung Jokowi. Fritz, dalam sebuah wawancara, menyebut dirinya sempat termakan isu polarisasi agama yang dituduhkan kepada Anies. Hari ini ia adalah pendukung Anies. Fritz menemukan bahwa Anies tak seperti yang dikatakan para buzzer karena semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta, Anies memberikan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) rumah ibadah nonmuslim.
Politik Identitas
“Memang agak jarang orang yang pinter ngomong dan juga punya sejarah, makanya orang ini istimewa. Pintar ngomong dan pintar kerja,” lanjut Awalil.
Awalil menyayangkan, kepintaran Anies mengelola pemerintahan justru dihadapi dengan permainan politik identitas oleh buzzer. Politik semacam ini dimunculkan karena Anies merupakan keturunan Arab. Padahal, Anies sendiri lahir di Kuningan, besar di Yogyakarta, dan tidak begitu fasih bahasa Arab. Dibanding bahasa Arab, Anies justru lebih fasih berbahasa Jawa.
“Jika Anies jadi Presiden, sebetulnya itu juga hadiah buat bangsa ini supaya opini yang membodohkan kita bahwa presiden itu harus pribumi. Pribumi yang dimaksud itu Jawa. Kalau pribumi beneran, Mas Anies kurang pribumi gimana? Ibu bapaknya lahir di Indonesia dan saya bocorkan sedikit, Mas Anies itu gak begitu bisa bahasa Arab,” terangnya.
Awalil menegaskan, kalaupun Anies tetap dianggap bukan Jawa dan sukses menjadi presiden, maka akan ada pendidikan politik yang baik di mana orang di luar suku Jawa memiliki kesempatan sama untuk duduk sebagai RI 1.
“Saya ingatkan, kita saat ini tidak hanya memperjuangkan Mas Anies, tapi yang paling penting memperjuangkan masa depan Indonesia. Sudah tidak mungkin kita menjadi negara maju kalau pikirannya presiden harus dari suku tertentu,” tegasnya. [dmr]