Di balik kemudahan yang ditawarkan, ada sisi gelap yakni biaya tambahan yang tidak ditampilkan di iklan pinjol.
BARISAN.CO – Banyak perusahaan yang mengiklankan jasa atau produknya di media sosial karena biayanya yang lebih murah. Hal ini untuk menarik atensi masyarakat untuk menggunakan jasa atau membeli produk.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pengiklan tidak memikirkan akibat yang timbul setelahnya. Mereka hanya peduli pada keuntungan. Penelitian telah menunjukkan, pesan positif memang lebih mudah diingat, namun iklan negatif lebih menarik banyak perhatian.
Saat ini misalnya, iklan pinjaman online (pinjol) masif beriklan di media sosial. Ototitas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah mengatur iklan pinjol melalui Peraturan OJK (POJK) 6/POJK.07/2022 yang berisi tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat.
Pakar hukum Andi W. Syahputra mengatakan, iklan pinjol memang tidak dilarang asalkan mematuhi pada hak-hak perlindungan konsumen mulai dari desain, pemasaran, pelayanan, dan after sales juga diawasi.
“Perusahaan pinjol mesti patuh pada ketentuan Peraturan OJK, yang mana ada kewajiban iklan yang ditayangkan harus bersifat edukasi, keterbukaan dan transparansi informasi produk atau layanan, perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab, perlindungan aset, privasi, data konsumen, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien,” jelas Andi.
Namun, tampaknya peraturan ini belum dipatuhi oleh perusahaan karena masih banyak iklan menyesatkan yang seolah berutang itu baik dan mudah. Mengutip Conversation, dari catatan Asosiasi Fintech Pembelanjaan Bersama (AFPBI), 60 persen pengguna pinjol berusia sangat muda anatar 19-34 tahun. Rentannya kelompok usia ini, menurut OJK membuat mereka menyumbang 65 persen dari total dana macet pinjol.
Pada akhirnya, banyak di antara masyarakat tergoda untuk mencoba. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada sisi gelap yakni biaya terselubung yang tidak tertera di iklan.
Narasi iklan yang menyesatkan dan tidak transparan juga dapat merugikan konsumen. Banyak yang menawarkan bunga rendah dan cicilan jangka panjang, tanpa memberikan keterangan biaya tambahan dalam iklan.
Hal ini juga diperparah dengan rendahnya literasi keuangan yang membuat masyarakat mudah tertipu dengan iklan pinjol ini. Masyarakat mudah terbujuk dengan kemudahan, tanpa memerhatikan biaya tambahan di kemudian hari.
Celakanya lagi, jika mereka yang terjebak pinjol justru merasa hopeless dan melakukan perbuatan kriminal seperti yang baru-baru ini terjadi di Depok. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Altafasalya Ardnika Basya (23) tega membunuh juniornya MNZ (19) dan mengambil barang-barang milik MNZ demi lepas dari jeratan utang pinjol.
Selain anak muda, iklan pinjol sering kali menyasar ke konsumen rentan yang memerlukan uang cepat. Mereka mencakup orang yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan seperti perbankan konvensional dan membutuhkan uang tunai segera karena situasi finansial darurat. [Yat]