BARISAN.CO – Sulit ditampik bahwa emoticon adalah penemuan yang mendekati mukjizat. Keberadaannya telah mencegah jutaan potensi terjadinya kesalahpahaman antarmanusia sekolong jagat ini saat berkomunikasi via teks.
Kita sering mendengar cerita-cerita pertikaian akibat bahasa teks. Praktis, hal itu terjadi sebab bahasa teks pada dasarnya memang hanya mengandalkan huruf-huruf dingin. Membaca maksud di balik huruf-huruf itulah yang kadang bukan hal mudah. Tak semudah saat kita mendengar bahasa lisan.
Kenapa bisa begitu, adalah sebab bahasa lisan memiliki intonasi sementara bahasa teks tidak.
Intonasi memiliki pola melodis. Pola tersebut dengan baik menggambarkan rentang ekspresi manusia yang mudah kita tangkap maksudnya. Dengan intonasi itulah, kita bisa langsung menyimpulkan apakah seseorang sedang marah, gembira, sedih, atau terkejut, saat ia mengucap ‘anjing’.
Demikianlah agaknya kita perlu berterima kasih kepada Scott Fahlman, seorang ilmuwan komputer di Carnegie Mellon yang memperkenalkan emoticon berbentuk senyuman untuk pertama kalinya pada 19 September 1982.
Dilansir dari Time, mula-mula Fahlman memperhatikan percakapan melalui pesan elektronik yang digunakan oleh staf untuk berkomunikasi. Dia menemukan ada hal-hal yang membuat percakapan itu kurang luwes, seperti lelucon yang hilang, maksud yang disalahartikan, dan omelan yang mengaburkan diskusi.
Fahlman kemudian mencetuskan sebuah ide legendaris: “Jika menyatakan sesuatu yang lucu atau ironis, beri label komentar dengan wajah tersenyum yang terbuat dari titik dua, tanda kurang, dan tanda kurung.”
Siapa sangka ide ilmuwan gabut itu sekarang ini kita pakai ramai-ramai. Dan emoticon senyum bikinannya bisa dikata adalah ibu dari segala emoticon yang jumlahnya ribuan itu.

Dalam perkembangannya, emoticon yang masih menggunakan unsur kombinasi tanda ala Fahlman disempurnakan menjadi gambar kecil penuh warna pada medio 1990-an. Seorang perencana telekomunikasi asal Jepang, Shigetaka Kurita, adalah orang yang merancangnya.
Shigetaka Kurita memberi nama ‘emoji’ terhadap temuannya itu. Emoji secara literer adalah kombinasi bahasa Jepang dari kata “gambar” (e) dan “huruf” (moji).
Emoji dengan seketika mendapat tempat di jagat maya. Kemampuannya menyampaikan ekspresi seakan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh bahasa teks.
Beberapa tahun lalu, sebuah konsorsium bernama Unicode merilis daftar emoji yang paling sering digunakan warga dunia. Untuk ukuran benda renik yang terlihat sepele, pemeringkatan emoji rupanya digarap menggunakan metodologi yang serius oleh Unicode.
Secara umum, Unicode menghitung peringkat berdasarkan pada frekuensi rata-rata penggunaan setiap emoji di berbagai sumber. Dipertimbangkan pula faktor jenis kelamin dan warna kulit pengguna emoji. Pada akhirnya, semua unsur pendukung tersebut ditabulasi untuk mendapatkan gambaran yang representatif.
Hasilnya, emoji face with tears of joy menduduki peringkat pertama yang paling sering digunakan umat manusia (9,9%). Posisi kedua dan ketiga berturut-turut diduduki oleh emoji red heart (6,6%) dan emoji smiling face with heart-eyes (4,2%).
Pada satu peringkat persis di bawahnya, ada emoji rolling on the floor laughing (4,2%), smiling face with smiling eyes (3,2%), dan folded hands (1,9%).
Sebetulnya ada ribuan emoji lainnya yang turut dihitung. Namun selain yang sudah disebut di atas, kebanyakan emoji tidak sering digunakan sehingga persentasenya tak mencapai 1% frekuensi penggunaan.
Secara menarik, sepanjang tahun 2020 hingga awal 2021, emoji terkait COVID-19 sangat populer dipakai warga dunia. Hal ini dapat dilihat dalam publikasi yang dirilis Emojipedia pada Maret lalu.
Sekurang-kurangnya Emojipedia menghitung sebanyak 976,7 juta kicauan Twitter dan menemukan bahwa ada kenaikan dramatis pada 3 jenis emoji: face with medical mask, microbe, dan syringe.
Face with medical mask sempat mengalami lonjakan signifikan pada bulan Maret 2020. Kalau kita ingat kembali, bulan-bulan itu memang situasi dunia serba menakutkan. Pengetahuan kita tentang Virus Corona belum lengkap, vaksin belum ditemukan, dan segalanya terasa tidak pasti. Satu-satunya yang kita tahu adalah memakai masker.
Tren yang terjadi pada emoji face with medical mask tentu saja amat menarik. Barangkali itulah mengapa sesekali kita boleh membenarkan ucapan para sosiolog, yang mengatakan bahwa manusia sering menyesuaikan realitas sosial dengan realitas simboliknya.
Jika benar demikian, jika emoji sudah menjadi upaya simbolis manusia untuk mengespresikan realitasnya, maka di sisa 2021 ini mari berharap bahwa akan muncul lebih banyak emoji yang menyenangkan dan membahagiakan pada tahun-tahun depan. [Dmr]
Diskusi tentang post ini