BANNER calon presiden atau legislatif selama ini menunjukkan wajah politik kita. Wajah tanpa ekspresi, kosong jiwa.
Gambar yang ada hanya foto nampang saja, tak ubahnya foto dalam KTP. Sebagian besar bahkan tampak formal, berjas dasi, dengan raut sok keren dan lebay. Kita jadi muak, karena foto-foto besar itu nyaris seragam mengganggu pemandangan kota.
Semua banner calon bahkan memasang tokoh parpolnya. Tokoh tingkat daerah atau nasional. Seperti tidak percaya pada jatidirinya. Calon rendah diri (bedakan dengan rendah hati) bisakah dipercaya sebagai pemimpin atau wakil rakyat. Tentu rakyat yang bisa menilai.
Ada kalanya seorang tokoh nasional migrasi koalisi. Maka apa yang terjadi. Calon legislatif yang terlanjur memasang gambar sang tokoh mencopot gambar sang tokoh. Terjadilah banner-banner berlobang besar. Tentu itu atas instruksi parpolnya. Sampai di sini Anda boleh tertawa.
Banner jadi simbol permainan ‘anak TK’ (pinjam istilah Gus Dur). Atau penanda polah ‘orang dungu’ (ingat ucapan Rocky Gerung). Permainan atau polah yang jauh dari ciri politikus atau orang yang dipercaya sebagai wakil rakyat, atawa terlebih citra seorang pemimpin.
Seorang tokoh nasional dari satu partai yang digadang sebagai calon, berusaha didongkrak namanya. Melalui pemasangan banner di seantero Nusantara. Banner-banner berukuran raksasa atau kerap disebut baliho. Toh nama sang tokoh tidak kunjung naik dalam peringkat urutan popularitas maupun ektabilitas.
Itulah barangkali bukti bahwa banner bukan faktor penentu bagi calon untuk mengibarkan namanya. Rakyat tetap akan melihat bagaimana kinerja calon selama, misalnya, sebagai kepala daerah hingga menteri. Apakah dia mementingkan nasib rakyat atau lebih mementingkan kepentingan diri pribadinya.
Seorang pengusaha banner mengungkap, bahwa pemesanan banner tidak seramai Pemilukada 2019. Jelang pemilu 2024 kini mengalami penurunan drastis. Apakah itu pertanda dari tokoh yang berusaha didongkrak tadi dan tidak kunjung mendapat simpati masyarakat.
Agaknya secara seni, perlu adanya riset psikologi massa dalam mendesain banner. Kepada seorang calon legislatif yang minta saran saya untuk membuat banner pencalonannya, saya katakan. Cobalah tidak lagi memasang gambar sekadar nampang, tapi gambar adegan.
Misalnya, foto si calon sedang mengulurkan tangan kepada anak sekolah atau ibu-ibu tua. Lalu buatlah tagline atau kata-kata yang tidak banal penuh janji kosong, melainkan kata-kata yang lebih bijak dan sastrawi.
Dengan demikian banner-banner yang terpasang di kota-kota lebih tampak indah dan beradab. [Luk]