Salah satu penyebab hal ini terjadi karena ketergantungan negara pada pekerja asing.
BARISAN.CO – Beberapa dekade yang lalu, gelar sarjana berarti jalan menuju karier yang stabil dan bergaji tinggi akan terjamin. Sayangnya, hal ini tidak lagi terjadi jika melihat pengangguran lulusan perguruan tinggi sudah menjadi berita umum.
Bahkan, baru-baru ini, Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Ida Fauziyah menyampaikan, sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia saat ini didominasi lulusan sarjana dan diploma.
Perluasan pendidikan tinggi tidak hanya meningkatkan perekonomian, tetapi juga memperluas wawasan dan memupuk pemikiran kritis. Namun, tujuan nasional untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi untuk perluasan masyarakat membawa serta masalah pengangguran.
Menjamurnya jumlah lulusan yang dihasilkan tidak sebanding dengan jumlah yang dapat diserap pasar kerja, sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Dengan banyaknya lulusan, pemberi kerja bisa pilih-pilih dan sering kali lulusan terdesak untuk mengambil pekerjaan non-lulusan, yang kemudian mempersulit non-lulusan untuk mencari pekerjaan.
Sialnya, saat menganggur, mereka dianggap pilih-pilih pekerjaan. Padahal, problema yang terjadi tidak sesederhana itu.
Jika melihat lowongan pekerjaan, perusahaan lebih sering menuliskan kriteria mencari yang telah berpengalaman sekian tahun. Sedangkan, lulusan baru alias fresh graduate kebanyakan belum memiliki pengalaman.
Ada beberapa penyebab lainnya yang membuat lulusan sarjana justru menjadi pengangguran. Pertama, investasi nasional dan asing yang tidak mencukupi untuk produksi. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asing di Indonesia mencapai US$168,9 miliar pada kuartal III tahun 2022. Namun, investasi asing sebagian besar terkonsentrasi pada pertambangan yang tidak menciptakan begitu banyak lapangan kerja.
Penyebab selanjutnya, sistem pendidikan yang tidak mempersiapkan siswa secara memadai untuk pasar kerja. Banyak pemberi kerja yang menilai, sarjana misalnya kurang menguasai bahasa asing.
Sarjana juga kurang memiliki keterampilan komputer yang tidak memadai. Mereka tidak mengetahui lingkungan kerja, dengan perusahaan harus melatih kembali staf lulusan baru mereka karena pendidikan universitas lebih teoritis daripada praktis, sehingga tidak memenuhi kebutuhan operasional perusahaan.
Selain itu, terlalu banyak lulusan universitas yang mengambil jurusan tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Ada ketidaksesuaian antara apa yang ditawarkan universitas dan pekerjaan yang tersedia di pasar.
Penyebab lainnya adalah ketergantungan negara pada pekerja asing. Pada tahun lalu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah tenaga kerja asing (TKA) melonjak 23,6 persen dari 88.271 menjadi 111.537 orang. Mayoritas TKA bekerja di sektor industri sebanyak 54.430 orang dan level jabatannya kebanyakan profesional setara 54.184 orang.
Belum lagi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) yang tampak memerlukan TKA di sektor konstruksi dengan dalih adanya kebutuhan akan kompetensi khusus terutama terkait teknologi yang rumit atau kompleks.
Sarjana pengangguran masih akan menjadi masalah yang penting dan harus diselesaikan. Kita tidak boleh menyalahkan lulusan, misalnya dengan menyebut mereka terlalu pilah-pilih.
Di sisi lain, perusahaan harus memainkan peran yang lebih besar dengan memberikan on-the-job training dan menciptakan lebih banyak kerjasama dengan universitas.
Selain itu, universitas alangkah baiknya menyiapkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Percayalah, sarjana kita tidak ada yang malas, hanya saja kesempatan mereka terlalu sedikit. Ini terbukti banyak yang mau ikut gig economy, seperti menjadi driver ojol (ojek online). Bahkan, mereka tidak malu mengambil pekerjaan dengan gaji di bawah minimum.
Saat ini, yang perlu dilakukan adalah mencari mata rantai yang hilang (missing link) antara produksi lulusan dan penyerapan tenaga kerja.