MENARIK mencermati diksi yang dipakai Presiden Jokowi dalam pidato arahan Rapat Kerja Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam salah satu pernyataannya Jokowi memberikan kriteria untuk presiden mendatang yang penting berani dan punya nyali.
“Kalau pemimpin ke depan, seperti Pak Ganjar Pranowo yang paling penting itu memang nyali itu nomor satu. Berani itu nomor satu,” ujar Jokowi seperti dikutip Liputan6.com, dalam acara Rakernas ke-3 PDIP, Senin (6/6/2023).
Saya pun penasaran kemudian membaca tesaurus dan juga kamus untuk mencari arti dan padanan dua kata tersebut. Berani kira-kira padanan katanya, “mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya; tidak takut (gentar, kecut).”
Makna berani tersebut dalam konteks mempertahankan kebenaran. Begitu juga dengan makna nyali tak jauh berbeda artinya, juga keberanian. Kata berani kemudian diimbuhi kata nyali pernyataan Jokowi tampak seperti dramatis.
Berani atau Nekat
Sayangnya Presiden Jokowi cuma berhenti di dua kata tersebut. Tidak lagi menyebut kriteria lain. Dua kriteria ini tidak substantif dan tak memiliki nilai sama sekali. Sama seperti dua kriteria yang disodorkan Jokowi sebelumya yang sangat absurd seperti kriteria pemimpin masa depan yang rambutnya beruban dan keningnya berkerut.
Seharusnya Presiden Jokowi menambah kriteria lain yang memiliki nilai, bermakna dan terukur. Apalagi dunia ke depan tidak bisa lagi mengandalkan kemampuan sendiri melainkan harus berkolaborasi. Tidak bisa lagi hidup terisolasi dan memihak kepada satu kepentingan atau dalam satu blok.
Kriteria berani dan nyali pun tidak memiliki konteks ketika Presiden mengaitkan dua kata tersebut dengan masalah global seperti krisis pangan, perubahan iklim, energi, perang, geopolitik, energi terbarukan dan sanksi Uni Eropa terutama terkait penebangan hutan dan sawit serta pertambangan.
Dampak Pemimpin Bermodalkan Nyali
Kalau pemimpin cuma mengandalkan berani dan nyali dampaknya bisa seperti sekarang ini. Tragis. Sepatutnya ini tidak dicontoh atau ditiru.
Berani dan nyali hanya akan menghasilkan residu dan toksin demokrasi. Berani dan nyali akhirnya menyatu menjadi nekat. Nekat membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, nekat membangun kereta cepat Jakarta-Bandung, nekat membangun infrastruktur dan nekat berutang. Lebih berbahaya lagi nekat berpihak atau berporos pada salah satu negara.
Padahal dunia ke depan adalah mereduksi permusuhan dan konflik untuk memperkuat kolaborasi dan pertemanan.
Dampak nekat sudah kita rasakan sekarang. Investor terutama dari negara Uni Eropa dan Amerika Serikat bukan malah bertambah justru yang sudah ada di dalam negeri malah mundur seperti dalam proyek strategis nasional gasifikasi batubara. Perusahaan yang awalnya bekerja sama dengan BUMN dan perusahaan milik Bakrie malah tidak hanya angkat tangan tetapi juga angkat kaki.
Dalam berbagai forum dunia pun Presiden Jokowi tak terlewati menawarkan investasi di IKN dengan segala macam insentif. Terbaru mengajak warga Singapura untuk bermukim di IKN. Singapura adalah representasi Eropa dan Amerika di Asia Tenggara. Warga Singapura atau investor Singapura tetap saja seperti Eropa dan Amerika, tidak tertarik. Sudah pasti mereka menolak karena IKN juga merusak hutan dan mengusik masyarakat adat. Dua masalah ini adalah sangat anti bagi Eropa dan Amerika.
Jadi, pernyataan bahwa calon pemimpin atau presiden masa depan harus berani dan bernyali itu bisa menyesatkan.
Justru pemimpin masa depan itu yang utama harus memiliki gagasan, narasi dan karya.