Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Berat Agar Defisit APBN di Bawah 3% PDB Hingga Tahun 2024

Redaksi
×

Berat Agar Defisit APBN di Bawah 3% PDB Hingga Tahun 2024

Sebarkan artikel ini

APBN 2021 merencanakan defisit sebesar Rp1.006 triliun dinyatakan sebagai 5,70% atas PDB. Artinya PDB diasumsikan akan sebesar Rp17.655 triliun. Asumsi yang sangat tidak realistis jika ternyata PDB tahun 2020 seperti prakiraan penulis, yaitu di kisaran Rp15.700 triliun.

Kenaikan PDB nominal tahun 2021 yang dibutuhkan akan mencapai 12,45%. Untuk itu dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 10% untuk mencapainya. Padahal, asumsi APBN 2021 hanya sebesar 5%.

Sementara itu, inflasi diasumsikan terkendali di kisaran 3%. PDB nominal bisa saja meningkat pesat, jika inflasi meningkat mendekati 2 digit. Terutama inflasi yang dihadapi produsen sebagai basis perhitungan PDB nominal.

Jika hal itu yang terjadi, maka soalan yang telah lama tak dialami ekonomi Indonesia akan kembali muncul. Tingkat inflasi yang tinggi akan sangat menekan kondisi perekonomian, terutama kehidupan rakyat kebanyakan. Tak terbayangkan, soalan pengangguran dan penghasilan pekerja yang belum pulih berkelindan dengan inflasi yang tinggi.

Jika Pemerintah dan Bank Indonesia masih berhasil mengendalikan inflasi pada tahun 2021, maka PDB nominal yang realistis adalah di kisaran Rp17.000 triliun.

Seandainya rencana defisit APBN tahun 2021 sebesar Rp1.006 triliun tadi berhasil dicapai, maka rasio defisit atas PDB menjadi sebesar 5,92%. Atau lebih lebar dari rencananya yang sebesar 5,70%. Bahkan, penulis memprakirakan defisit pun masih berpotensi lebih lebar dari rencananya. Sehingga kemungkinan rasio defisit akan kembali mencapai 6%.

Narasi kebijakan Pemerintah yang mengesankan APBN akan tetap ekspansif hingga beberapa tahun ke depan, akan membuat soalan defisit ini menjadi makin serius dan penuh risiko. Selain alokasi anggaran yang memang sudah bersifat operasional, beberapa alokasi bersifat kontrak tahun jamak (multiyears contract) atau direncanakan hingga beberapa tahun. Sebagian cukup besar dari anggaran infrastruktur bersifat demikian.

Jika tidak ada perubahan paradigma belanja atau masih dengan cara sebagaimana biasanya APBN disusun dan direalisasikan, maka belanja akan terus meningkat pesat.

Penulis menilai belanja APBN 2021 merupakan belanja “urusan lama” sebagaimana biasanya, ditambah dengan beban mitigasi pandemi dan pemulihan ekonomi. Sejauh narasi kebijakan yang disampaikan Pemerintah, hal itu akan berlanjut pada tahun 2022 dan 2023. 

Salah satu yang butuh alokasi dana “soalan baru” bernilai cukup signifikan adalah terkait antivirus covid. Dan jangan lupa, alokasi dana dimaksud bukan semata harga, melainkan soal agar bisa digunakan. Termasuk soalan penyimpanan, pendistribusian, sosialisasi, dan seterusnya.

Penulis belum melihat ada rencana bagaimana Pemerintah akan menekan defisit kembali di bawah 3% pada tahun 2022. Berbagai narasi kebijakan terkait hal ini sepenuhnya bersifat harapan dan tidak ada uraian rencana strategis yang cukup meyakinkan.

Solusi administratif sih mudah, terbitkan Perppu baru lagi pada tahun 2022 yang mengatur batas defisit masih boleh melebihi 3% hingga tahun 2024.

Akan tetapi, pengelolaan APBN dengan defisit melebihi 5% selama 5 tahun berarti keuangan Pemerintah dalam kondisi sangat sulit. Pemerintah yang seharusnya menjadi andalan bagi pihak lainnya dalam dinamika perekonomian, justeru terjerat oleh kesusahan keuangannya sendiri. Akhirnya, rakyat lah yang justeru akan membantu menyelamatkan Pemerintah.

*Awalil Rizky; Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri