TIBA-tiba pengin menulis tentang anak. Tentang bungsu saya, Rakai, sebelum kini ia menyantri di Pondok Misykat Al-Anwar, Bogor, bareng kakaknya.
Saat itu ia masih menjalani homeschooling, belajar mandiri di rumah. Nah, Pagi jelang siang, Rabu 13 April 2022, saya antar Rakai ke Semarang.
Dalam kondisi berpuasa, bungsu saya itu ternyata tak surut semangatnya untuk mengikuti playdate anak-anak homeschooling. Padahal mayoritas rekan-rekannya nonmuslim, yang jelas ada acara makan siang.
Saya hanya mengantar, tak ikut menunggui. Sehingga, saya tidak melihat langsung kegiatan yang dilaksanakan. Tapi berdasar kiriman video dan foto-foto dari fasilitator, serta cerita dari Rakai, saya berkesimpulan: playdate ini aman dan menyehatkan buat perkembangan jiwa anak.
Sungguh, dari kegiatan mereka, mengingatkan akan soal-soal yang teranggap remeh dan tak punya nilai juang. Padahal, membersamai anak, bercanda ria dengan sang bocah, itu bukan perkara gampang. Tidak semua dari kita, selaku orangtua, sedemikian enteng meluangkan kesempatan untuk serius menjadi pendengar tatkala anak berkeluh kesah.
Kita acap gagal menjadi kawan curhat dan tong masalah yang sedang anak hadapi. Justru sebaliknya, kita sontak marah-marah ketika anak berkata jujur telah mengambil uang sisa belanja, misalnya. Sebab menurut kita, si anak harus menyerahkan uang kembalian itu utuh, bukan untuk di-thithili buat jajan yang lain.
Kita memarahinya dengan mengatakan hal-hal buruk. Kita lupa bahwa apa yang keluar dari mulut orangtua itu adalah doa. Bayangkan, apa jadinya anak kita sekira umpatan-umpatan marah kita itu menjadi kenyataan!
Kita pun lupa, anak kita itu juga pengin menghirup udara lingkungan secara wajar. Ia ingin jajan di warung, seperti lazimnya teman-teman seusianya. Namun, kitalah yang bermasalah. Kita salah paham soal makna kesempurnaan. Seolah pengalaman masa lalu kita itu pasti yang benar dan baik. Bahwa ambisi dan harapan-harapan besar kita atas masa depan anak harus maujud.
Dari playdate Rakai dan teman-temannya itu, saya tertegun. Bahwa pengalaman masa lalu kita cukuplah terendap untuk diri saja, tidak perlu diwariskan ke anak sebagai bahan ancaman atau harapan.
Jangan sampai, omelan kita, walau dimaksudkan untuk kebaikan anak, justru menjadi beban dan menghapus masa-masa ceria anak. Jangan sampai kita merusak mental dan pemikiran sang buah hati dengan bentakan-bentakan.
Ya, kita paham itu, tapi tidak jarang kita lepas kontrol tatkala menghadapi muka masam anak. Padahal sebetulnya si anak itu lagi butuh perhatian kita, orangtua.
Atau bahkan ekstremnya, si anak hendak mencemooh kita yang lalai bahwa hidup ini sebuah ruang yang plural. Sehingga, tidaklah tepat membandingkan anak kita dengan anak tetangga. Atau membandingkan antara si adik dengan sang kakak.
Seolah si anak tengah mencibir kita yang hobi dan memang hanya bisa mengungkit-ungkit kesalahannya. Padahal jelas dunia ini berjalan siklus tidak mesti linear. Bahwa ada kala kita tak bisa mengelak dari hal-hal kecil dan tak terduga. Bahwa akhirnya, hidup ini nyata-nyata tidak dalam kuasa akal pikiran kita, tapi 100 % dalam genggaman-Nya.
Maka, kekhawatiran atas sesuatu yang berlalu, otomatis tak berlaku untuk saat ini. Pun demikian ketakutan atas sesuatu yang belum.
Kemudian, sebagai penguat mental dan petunjuk teknis, karena ternyata tidak gampang menjadi orangtua yang menggembirakan anak, saya merujuk ungkapan Gus Baha.
Di beberapa ceramahnya, Gus Baha mengkritik pandangan bahwa anak yang berani atau tidak jujur kepada orangtua itu akan kualat. Padahal sebaliknya, justru orangtua yang akan kena tulah jika tak memuliakan anak. Jika tidak memanjakan anak. Jika berani membentak-bentak anak, apalagi di hadapan teman-temannya atau bahkan di tengah khalayak ramai.
Longgar terhadap anak merupakan ajaran para nabi, terang Gus Baha. Kita diperkenankan serius mengawal anak untuk perkara menegakkan salat lima waktu. Urusan yang lain, kita bikin longgar. Anak suka jajan, ya, jangan dilarang untuk jajan. Suka makan enak, ya, kasih makan yang enak.
Jangan sampai terjadi, anak mengenal dan menikmati apa yang disukai dari orang lain, bukan dari keluarga. Jangan sampai anak mengidolakan orang lain yang tidak peduli dengan religiusitas, orang yang tak pernah membenakkan kalimat suci. Jangan sampai!
Itulah rahasia, kenapa semua nabi itu melonggarkan anaknya. Tatkala Hasan dan Husain meribeti Nabi Saw. yang tengah menjalani salat, Sang Nabi diam saja.
Artinya, sikap longgar kita itu demi mengawal kalimat tauhid serta kebenaran-kebenaran Islam yang terpatri dalam benak anak lantaran mau menegakkan salat.
Sekiranya kita terlampau keras, niscaya anak kecewa dengan sistem keluarga dan sistem keyakinan yang kita bina. Padahal anak merupakan harapan untuk melanjutkan kalimat tauhid. Maka, menyervis anak sebaik mungkin demi mengawal kalimat Ilahi, justru yang diteladankan para nabi dan kekasih-Nya.
“Anak sudah mau belajar Al-Quran, mau ibadah, itu harus didukung. Sehingga, kalau anak senang mainan, ya kasih aja mainan! Supaya anak tidak kecewa. Sebab yang bakal meneruskan tauhid itu anak.” simpul Gus Baha.
Alhasil, tatkala liburan pondok Misykat Al-Anwar, yang juga tepat saat puasa Ramadan 1444 H, saya dan istri mulai berupaya untuk bersikap longgar pada anak-anak.
Moga istiqomah.
Ungaran, 14 Mei 2023