Istilah lain dari isi hadits itu adalah “wara”, yakni menjauhi perkara yang belum jelas status hukum halal dan haramnya karena khawatir pada keharamannya.
MENYIMAK paparan Pak Heru—begitu saya biasa menyapa tetangga kompleks perumahan, tapi untuk kepentingan di sini, saya akan menulis Ustaz Heru, lengkapnya Ustaz Heru Nugroho—saya langsung terkenang sosok Sayidina Hasan bin Ali bin Abu Thalib.
Ya, Ustaz Heru, dalam Pengajian rutin Ahad malam, 23 Juli 2023, menyampaikan syarah Hadits Arbain, Hadits ke-11. Cukup pendek isi hadits tersebut, tapi kisah Sayidina Hasan bin Ali, yang menerima langsung sabda dari Baginda Nabi Saw. ini sedemikian menyentuh.
Ketika Sang Nabi menyampaikan sabda beliau, Sayidina Hasan masihlah belia, ya, kurang lebih enam atau tujuh tahun. Tapi toh nyatanya Baginda Nabi Saw. tetap bersabda kepada sang cucu, dan Sayidina Hasan mengingat betul nasihat sang kakek.
Hal ini menunjukkan betapa kita orangtua hendaknya menasihati anak bukan dengan nasihat yang receh, nasihat yang remeh temeh tanpa makna. Kita jangan over estimate bahwa anak tidak akan mengerti apa yang tersampaikan.
Adalah Sayidina Hasan, cucu Rasulullah Saw. dari Sayidina Ali bin Abu Thalib dan Sayidah Fatimah. Dia lahir pada bulan Ramadan tahun empat Hijriah, bertepatan dengan tahun 624 M. Sifat fisik Sayidina Hasan lebih menyerupai Rasul Muhammad Saw. ketimbang ayahnya, Sayidina Ali bin Abu Thalib.
Sayidina Hasan mempunyai bibir yang merah, mata yang hitam, berwajah indah, bahu yang lebar, badan yang tidak tinggi dan tidak rendah, serta berambut ikal.
Konon, para sahabat akan pergi menemui Sayidina Hasan tatkala mereka rindu untuk melihat wajah Rasulullah Muhammad Saw. yang telah wafat. Dan sungguh, Sayidina Hasan, selain dari sifat fisik, turut mewarisi sifat dermawan dan kewibawaan Rasulullah Saw.
Sayidina Hasan bin Ali bin Abu Thalib sangat dikenal dalam sejarah sebagai orang yang lebih suka menghindari pertikaian dan pertumpahan darah. Para sejarawan menilai sikap Sayidina Hasan itu lebih lunak daripada Sayidina Husein, adiknya.
Oleh ulama, Sayidina Hasan merupakan khalifah kelima dalam Khulafaur Rasyidin. Namun, tersebut dalam kisah, Muawiyah telah merebut kekhalifahan yang menjadi haknya.
Dan, Sayidina Hasan lebih mengutamakan perdamaian agar dua kubu kaum Muslimin yang berseteru tidak menumpahkan darah seperti masa-masa ke belakang saat sejumlah perang melumatkan jiwa-jiwa yang sejatinya bersaudara.
Kemudian, di Madinah, saat beliau tidak lagi dalam pusaran ingar-bingar politik, Sayidina Hasan tekun mendekatkan diri kepada Allah. Beliau giat mengajarkan ilmu agama kepada penduduk Madinah di Masjid Nabawi. Selain itu, beliau juga rajin belajar kepada para sahabat kakeknya yang telah sepuh.
Sayidina Hasan wafat dalam usia 46, yakni pada tanggal 28 Safar 49 Hijriah, atau bertepatan 1 April 670 Masehi. Jenazah Sayidina Hasan dikuburkan di Baqi, berdekatan dengan makam neneknya, Sayidah Fatimah binti Asad, ibunda Sayidina Ali bin Abi Thalib.
Nah, kembali kepada hadits ke-11 dari Hadits Arbain yang dipaparkan Ustaz Heru, bahwasanya, sesuatu yang bikin kita ragu mesti kita tinggalkan. Jangan sampai kita diselimuti oleh perasaan ragu. “Tinggalkan apa-apa yang meragukan kamu, kerjakan apa yang tidak meragukan kamu.”
Istilah lain dari isi hadits itu adalah “wara”, yakni menjauhi perkara yang belum jelas status hukum halal dan haramnya karena khawatir pada keharamannya.
Secara umum wara berarti berhati-hati. Tetapi Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, sebagaimana Ustaz Heru jelaskan, membagi wara dalam empat tingkatan:
Pertama, Wara’us syuhud, yaitu kewaraan minimal di mana seseorang menjauhi diri dari barang haram.
Kedua, Wara’us shalihin, yaitu kewaraan orang-orang saleh, di mana para shalihin akan menjauhi diri dari barang syubhat yang sekiranya memiliki berbagai kemungkinan (kemungkinan haram, makruh, mubah).
Ketiga, Wara’ul muttaqin, yaitu kewaraan orang yang bertakwa di mana ia meninggalkan kelebihan barang. Ia meninggalkan barang yang bertumpuk-tumpuk yang tiada/kurang manfaat.
Keempat, Wara’us shiddiqin, yaitu kewaraan golongan shiddiqin di mana keberpalingan mereka dari selain Allah. Mereka khawatir akan melewati sepenggal umur yang tidak bermanfaat dalam menambah kedekatan kepada Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa aktivitas itu tidak membawa mereka pada yang haram.
Walhasil, hadits kesebelas dalam Hadits Arbain ini meneguhkan sedianya kita tidak gampang terombang-ambing oleh keadaan, oleh kenyataan. Kita tidak dikendalikan oleh dunia. Kita berusaha jadi wara. [Luk]