Industri rokok diduga penyebab kebijakan larangan IPS rokok di dalam RUU Omnibus Law Kesehatan masih tarik ulur.
BARISAN.CO – Dalam rangka menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bersama dengan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyelenggarakan kegiatan publik yang juga merupakan bagian dari rangkaian acara Primary Health Care (PHC) Festival yang diselenggarakan oleh CISDI pada tanggal 27-28 Mei 2023 lalu.
Kegiatan ini menggunakan pendekatan kreatif dalam memperkenalkan dan mengadvokasikan isu pengendalian tembakau kepada masyarakat serta stakeholder terkait dengan mengusung tema “Lepas Landas Menghadapi Turbulensi Pengendalian Tembakau di Indonesia”. Kegiatan ini membuat konsep tiruan pesawat sebagai wahana bagi orang muda agar lebih antusias untuk mendalami isu pengendalian tembakau di Indonesia.
Ada pun yang membuat isu pengendalian tembakau ini semakin mengkhawatirkan adalah fakta bahwa pada tahun 2019, terdapat 19,2% siswa (35,6% anak laki-laki dan 3,5% anak perempuan) yang saat ini menggunakan produk tembakau, baik elektronik maupun konvensional (GYTS, 2019).
Belum lagi prevalensi perokok anak dari 7,2% (2013) malah naik menjadi 9,1% (2018) yang telah melewati target penurunan prevalensi perokok anak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, yang seharusnya menjadi 5,4%. Tingginya angka prevalensi perokok anak ini juga diperparah dengan konsumsi masyarakat miskin pada jenis komoditas makanan, minuman dan rokok.
Fakta menyedihkan lainnya, rokok berkontribusi pada komoditas tertinggi kedua setelah beras yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin (BPS, 2022). Sementara itu, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mencatat, setiap 1 persen peningkatan pengeluaran rokok akan menaikkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin hingga 6 persen.
Saat ini, ada beberapa kebijakan penting yang memuat aturan-aturan pengendalian tembakau yang sedang dirumuskan oleh pemerintah, yaitu RUU (Rancangan Undang-Undang) Kesehatan, revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dan RPJMN 2025-2029.
Diah Satyani Saminarsih, CEO sekaligus Founder CISDI mengatakan, CISDI telah berupaya memasukkan aspek pengendalian tembakau di dalam masukan untuk Bappenas (terkait RPJMN) agar suaranya didengar dengan jelas oleh pemerintah.
Diah menambahkan, masalah kesehatan harus melibatkan orang muda agar mereka terlibat aktif dalam perumusan kebijakan yang bisa menjadi solusi untuk masalah tersebut.
Menanggapi soal kebijakan, Indah Febrianti, S.H., M.H (Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan RI) kemudian menjelaskan posisi Kementerian Kesehatan dalam berbagai rencana kebijakan untuk pengendalian tembakau.
“Kemenkes ditunjuk sebagai perwakilan pemerintah untuk Menyusun DIM RUU Kesehatan. Tujuan Kemenkes adalah untuk transformasi layanan kesehatan, ini hal yang perlu didukung dengan kuat oleh regulasi. Kemenkes paham bahwa perjalanan regulasi pengendalian tembakau sudah sangat panjang, terutama untuk revisi PP 109/2012. Untuk larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship (IPS rokok), sebenarnya ini adalah salah satu substansi pokok di dalam Revisi PP 109/2012, dan juga diamanatkan Presiden di dalam Keppres No. 25 Tahun 2022,” jelas Indah.
Dalam diskusi tersebut, diberikan tanggapan kepada pemerintah mengapa produk berbahaya seperti rokok harus segera diregulasi bisnisnya.
Seharusnya dalam mengatur rokok, tidak ada proses negosiasi yang sulit karena produk ini jelas-jelas berbahaya, ungkap Julius Ibrani, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI).
“Tidak boleh ditawar-tawar, tidak boleh ditunda-tunda karena ini terkait kesehatan orang banyak. Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan ada 3 hak dasar yang harus dipenuhi pembuat kebijakan yaitu meaningful participation; right to be considered; dan right to be explained, tetapi sayangnya, hak yang ketiga (right to be explained) belum dipenuhi pemerintah,” tegas Julius.
Julius melanjutkan, seharusnya pemerintah dengan jelas mengambil posisi dalam masalah kebijakan pengendalian tembakau ini. Hal ini dikarenakan masih tarik ulurnya kebijakan larangan IPS rokok di dalam RUU Omnibus Law Kesehatan.
Menutup diskusi, Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian YLKI) mengapresiasi tema diskusi tersebut. Tulus menyebut, temanya sangat bagus dan sesuai dengan kondisi saat ini.
Seharusnya sekarang kita tinggal lepas landas untuk kebijakan pengendalian tembakau, tapi nyatanya kita saat ini malah mengalami turbulensi. PP 109/2012 masih belum berhasil direvisi sampai saat ini, padahal sudah out of date (ketinggalan zaman). Ada intervensi dari industri tembakau yang sangat kuat yang mengganggu proses revisi ini,” papar Tulus,
TuIus juga mengungkapkan, adanya ketidakpastian nasib kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.
“Pak Menteri Kesehatan bahkan mengatakan bahwa beliau tidak yakin sampai akhir tahun ini PP 109/2012 akan berhasil diamandemen terutama karena sudah masuk tahun politik,” ungkapnya.
Mengingat Hari Tanpa Tembakau Sedunia dirayakan tanggal 31 Mei lalu, sudah saatnya Indonesia merefleksikan diri, apa saja yang sudah dilakukan hingga saat ini dan mengapa gerakan pengendalian tembakau ini selalu mendapatkan banyak turbulensi? Lantas kapan kita akan segera lepas landas? (Yat)