Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tampaknya berlaku dalam dunia politik. Itu sebabnya, misalnya, PDIP menggunakan Soekarno sebagai DNA politiknya.
UJARAN buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tampaknya berlaku dalam dunia politik. Itu sebabnya, misalnya, PDIP menggunakan Soekarno sebagai DNA politiknya.
Buah PDIP jatuh tidak jauh dari pohon Soekarno, begitu harapannya. Simbol rakyat kecil Marhaen, turunnya menjadi partai wong cilik, katanya. Kenyataannya?
Benarkan kata lagu Broery: buah mangga berdaun sirih. Itu untuk menunjuk, kenyataan kerap berbeda dari harapan.
Sebagaimana Golkar di era orde baru menjadi partai single majority. Partai tunggal yang menjadi penguasa besar. Kenyataannya buahnya jatuh jauh dari pohon beringin kuning itu.
Megawati sebagai anak biologis Soekarno, benarkah juga menjadi anak ideologis Bung Karno. Lalu Puan dan anak-cucu Mega trah darah biru Soekarno. Benarkah mewarisi ideologi Sang Putra Fajar.
Bagaimana pula dengan trah Soeharto, yang tampaknya belum ada yang mewarisi visi Bapak Pembangunan.
Lalu SBY, mungkin seperti yang diharapkan partai mercy. Putra mahkota AHY punya harapan, anak jatuhnya tidak jauh dari bapaknya. Amat dekat, narasinya.
Tentu ihwal narasi beda dengan tindakan nyata, seperti yang ditekankan Jokowi: kerja kerja kerja. Pohon Presiden Joko Widodo adalah walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Lihatlah kerja sang bapak, tengoklah kerja si anak. Tanpa menunjuk hasil kerja masing-masing, tingkat kepuasan masyarakat ada di kisaran 80% negara dan atau kota.
Siapa yang memetik buah kebahagiaannya. Tentu pohon tanggungjawab pekerja dan si hak buah rakyat.
Seperti ujaran Belanda mengatakan: kebahagiaan adalah buah yang dipetik dari pohon tanggungjawab.*