Tiket gratis kepada pejabat, menurut kesepakatan etis, termasuk ke dalam tindak pidana korupsi.
BANYAK orang melanggengkan pikiran bahwa pejabat lumrah mendapatkan previlege tiket gratis kalau nonton konser, hadir di pertandingan olahraga, atau di pagelaran-pagelaran lain.
Padahal, tiket gratis kepada pejabat, menurut kesepakatan etis, sudah mulai termasuk ke dalam tindak pidana korupsi.
Menurut UU 20 tahun 2001 mengenai tindak pidana korupsi, pasal 12E gamblang menyatakan pejabat tidak bisa memanfaatkan pengaruhnya untuk minta keistimewaan tertentu:
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.“
Kita membaca berita lawas. Pada tahun 2018, publik sempat heboh lantaran di balik suksesnya pagelaran Asean Games oleh Indonesia, ada sejumlah pejabat yang menerima tiket gratis dari pihak panitia.
Pada tahun 2019, kesuksesan konser Westlife di Jakabaring Sport City, Kota Palembang, juga menyisakan pemberitaan soal pejabat yang minta kursi VIP gratis.
Bukan hanya di pagelaran tingkat nasional, acara-acara lokal di banyak wilayah juga selalu mengandung persoalan serupa. Perdebatan soal rendahnya pemahaman dimensi etis para pejabat kita kemudian menyeruak ke publik dan belum selesai hingga sekarang.
Tidak banyak pejabat yang mengerti bahwa tiket gratis punya implikasi hukum. Di sisi lain, para panitia penyelenggara juga tampaknya kurang memahami bahwa zaman sudah berubah. Pikiran-pikiran feodal yang menjunjung pejabat, tendensi untuk memberi mereka kemudahan, dan perasaan rendah diri di hadapan nama besar—sebagaimana terjadi pada masa kerajaan nusantara zaman dulu—mestinya sudah tak lagi terjadi.
Contoh Baik
Sekarang mari membaca berita terbaru yang lumayan menggelitik soal Anies yang tidak diundang nonton Formula E.
Tvonenews misalnya, menulis begini: “Anies Baswedan Nonton Formula E, Tak Diundang Pemprov DKI Tapi Beli Tiket Sendiri.”
Suara.com juga menulis: “Tak Diundang Panitia, Anies Beli Tiket untuk Nonton Formula E Jakarta 2023 Hari Ini.”
Dua contoh berita di atas cukup menandai bagaimana pola pikir feodal masih hidup di tengah kita. Berita tersebut melupakan bahwa undangan, tiket gratis, maupun kemudahan akses adalah budaya korup. Ada nilai ekonomi yang menguap di setiap hal-hal itu diberikan.
Berita-berita itu juga agaknya melupakan fakta bahwa Anies datang bukan sebagai siapa-siapa. Ia datang sebagai rakyat biasa yang menonton balapan. Tapi, Anies dipersepsikan masih sebagaimana pikiran feodal, yang harus diberi tiket, diundang, ataupun diberi akses.
Yang menarik adalah bagaimana sikap Anies menghadapi pertanyaan wartawan. Bagi Anies, dirinya adalah warga biasa yang sedang butuh hiburan. “Saya beli tiket, saya bukan undangan. Beli tiket seperti yang lain juga,” kata Anies Baswedan kepada awak media.
Ini merupakan contoh bahwa sekalipun namanya sedang ramai diperbincangkan sebab sedang ikut kontestasi pencalonan presiden, Anies tak lantas memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya. Ia membeli tiket. Sama seperti yang lain.
Anies bukan sekali ini saja datang ke sebuah acara dengan membeli tiket. Saat ia menjabat Gubernur DKI, ia sering kedapatan pergi ke bioskop, menonton pertunjukan standup comedy, dan lain-lain dengan berbekal tiket biasa dan duduk di tribun biasa. [dmr]