Studi Islam dan Pancasila dilakukan karena adanya keprihatinan bahwa Pancasila sekarang agaknya tidak lagi dikenali dengan baik terutama oleh generasi milenial dan generasi Z.
BARISAN.CO – Studi Islam dan Pancasila dilakukan karena pertama, adanya keprihatinan bahwa Pancasila sekarang agaknya tidak lagi dikenali dengan baik terutama oleh generasi milenial dan generasi Z.
Hal ini disampaikan Direktur Paramadina Center For Religion and Philosophy (PCRP), Budhy Munawar Rachman pada Kajian Islam dan Pancasila dengan Topik Negara Pancasila Dan Cita-Cita Islam: Pemikiran Sukarno, yang diselenggarakan Paramadina Center For Religion and Philosophy (PCRP), bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama Dan Filsafat (LSAF), Silapedia dan Universitas Paramadina, Sabtu (3/06/2023)
Menurutnya kitapun terasa kurang lagi mendalami sejak di mata kampus dulu mata kuliah Pendidikan Pancasila tidak lagi berdiri sendiri tetapi masuk dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
“Yang paling memprihatinkan adalah kita semakin kehilangan dalam berbangsa dan bernegara dan juga ada praktik-praktik politik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dulu telah kita bangun dengan susah payah dikembangkan,” terang Dosen STF Driyarkara.
Budhy Munawar Rachman berharap kajian Islam dan Pancasila dalam beberapa bulan ke depan akan menghasilkan satu artikel atau karya/jurnal yang membuka jalan kita untuk terus memikirkan tentang Pancasila.
“Baik terkait dengan filsafat Pancasilnya ataupun terkait pemikiran Islam hal mana Universitas Paramadina telah concern dengan persoalan pemikiran Islam,” imbuhnya.
Jika didalami lebih jauh menurut Budhy, persoalan Islam dan Pancasila sangat mendalam dan banyak detailnya. Mulai dari bagaimana pandangan Sukarno tentang Islam dan Pancasila, sampai pada akhir-akhir ini di mana terdapat kelompok-kelompok garis keras yang coba menafsirkan Pancasila dengan cara berbeda, atau disebut dengan “Pancasila yang bersyariah”.
“Nuansa-nuansa di atas juga diperkaya dengan pandangan-pandangan yang lebih positif dari para cendekiawan muslim yang sangat menarik untuk dipelajari,” terangnya.
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Syaiful Arif mempertanyakan kenapa di Pembukaan UUD 1945 aline ke 4 tidak terdapat kata Pancasila, itu tidak menegasikan fakta historis dan yuridis bahwa alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila. Alinea ke 4 itu boleh kita sebut sebagai “Pancasila tanpa nama Pancasila.”
“Terdapat hubungan dari 3 rumusan ide tentang Pancasila yang menjadi awal dari pembentukannya. Yakni Pertama rumusan 1 Juni dari Sukarno, lalu rumusan dari panitia 9, Sukarno sebagai ketua pada 22 Juni yang menghasilkan Piagam Jakarta (tokoh-tokoh Islam berperan sentral) dan rumusan 18 Agustus 1945 dari PPKI, Sukarno Ketua PPKI, Hatta dan tokoh-tokoh Islam berperan sentral,” jelasnya.
Lebih lanjut Syaiful menyampaikan Ki Hajar Dewantara sebagai anggota BPUPKI pada 1950 memberikan rumusan Pancasila bahwa di dalam Pancasila ada 3 elemen, Pertama Isi, kedua, Bentuk dan ketiga, Irama. Isi Pancasila adalah tema dari 5 sila, 1. Kebangsaan, 2. Internasionalisme (Demokrasi), 3. Mufakat (Demokrasi),4. Kesejahteraan Sosial dan 5. Ketuhanan YME.
“Kedua, Bentuk Pancasila adalah Sistematika Pancasila sejak rumusan 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Ketiga, Irama Pancasila adalah Perspektif dalam mengkonseptualisasikan Pancasila berdasarkan perspektif tertentu yang masuk melalui sila-sila tertentu. Misalnya Irama Kemanusiaan untuk mengkonseptualisasi Pancasila sebagai Falsafah Kemanusiaan sehingga menjadikan Kemanusiaan sebagai “urat tunggang Pancasila,” imbuh CEO Silapedia ini.
Menurut Syaiful, Buya Hamka juga menggunakan Ketuhanan sebagai Irama Pancasila sehingga HAMKA menjadikan Ketuhanan sebagai Urat Tunggang Pancasila. Sukarno sendiri menempatkan Kebangsaan sebagai Irama Pancasila dan Urat Tunggang Pancasila.
“Menurut Ki Hajar, yang tidak berubah adalah “Isi Pancasila” yang tidak berubah sejak diusulkan oleh Sukarno, direvisi oleh Panitia 9 dan disahkan oleh PPKI. Artinya dari 5 tema yang diusulkan oleh Sukarno tidak diganti misalnya Kebangsaan tidak diganti dengan Kebudayaan,” jelasnya. [Luk]