NAFSU. Ya, sekali lagi nafsu. Dorongan hati yang sedemikian kuat untuk berbuat kurang baik. Dan ini tidak akan padam hingga maut menjemput.
Artinya, seutuh hidup kita manusia akan terperangkap dalam dua pertarungan: mengikuti perkara haq atau akal sehat versus menuruti kecenderungan selera hati.
Dan umumnya manusia, kehendak akal sehat yang dari sononya selaras dengan ajakan ruh kalah oleh selera hati, kalah oleh dorongan perasaan. Contoh, jika kita melihat sesuatu yang selaras dengan keinginan, dengan harapan, maka akan tercermin dalam hati perasaan senang, perasaan cinta.
Juga misalnya, kita melihat tetangga yang memiliki kedudukan atau harta melimpah, muncul perasaan benci, perasaan tidak suka, iri, atau bahkan dendam. Pun jika di sekitar kita ada orang-orang yang tidak menghargai kita, tidak memberikan sambutan hangat, maka muncul perasaan amarah.
Itulah kenyataannya. Kita berperilaku lebih banyak karena dorongan hati ketimbang akal. Akal kalah oleh dominasi perasaan cinta, benci, iri, amarah, atau pun dendam.
Kita tahu, akal membenarkan hasil berbagai riset bahwa minum air putih itu menyehatkan, tetapi toh nyatanya kita menampik dengan tetap meminum teh manis. Perasaan tidak mood dengan air putihlah yang menjadikan akal tiarap, dan memenangkan selera hati.
Nah, pemenangan akan selera hati itu dalam bahasan di kitab Al-Hikam disebut penurutan terhadap hawa nafsu. Dan semakin terus mengumbar hawa nafsu, niscaya noktah hitam akan menutupi hati seluruhnya.
Padahal, fungsi hati adalah cermin. Jika yang tercetak pada cermin hati adalah perasaan cinta kepada Allah, perasaan untuk mengagungkan dan takut kepada-Nya, kiranya hati akan memancarkan cahaya. Hati tidak lagi buram, yang hanya memenuhi selera keduniawian, perasaan dendam, dan sebagainya.
Lantas?
Ya, dengan akal. Sebab akal otomatis mengetahui kebenaran. Tatkala kita hadir dalam majelis ilmu, misalnya, kita menerima banyak nasihat, dan kita mengetahui itu kebenaran. Akal kita membenarkannya. Namun, begitu selesai dari majelis, hawa nafsu membonceng.
Saat itulah, ketika kontrol diri diserahkan sepenuhnya kepada perasaan, bukan pada akal, niscaya hasil pengertian-pengertian dari majelis itu pun kandas.
Jadi, sewaktu kita berpedoman pada akal, kita bisa memilah mana kebenaran, mana kebatilan. Namun, seberapa banyak kita berjalan dengan berlandas kebenaran yang kita pahami? Dan jujur, kita lebih sering di bawah kendali hawa nafsu, di bawah dominasi perasaan-perasaan. Kebenaran kerap berhenti di level pengertian, bukan perilaku.
Syekh Ibnu Athaillah menuturkan, “Syu’aa’ul bashirah (sinar mata batin) memperlihatkan padamu kedekatan-Nya darimu. Ainul bashirah (penyaksian mata batin) membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena wujud-Nya. Dan haqqul bashirah (mata batin yang hakiki) memperlihatkanmu kepada wujud-Nya, bukan ketiadaanmu ataupun wujudmu.” (Al-Hikam, no. 36).
Saya sepaham, mata batin dalam hikmah ini adalah akal atau kesadaran. Maka, sinar mata batin maksudnya sinar akal, cahaya akal.
Kemudian jika ingin mengenal Allah dan dekat dengan-Nya, maka, kata Syekh Ibnu Athaillah, hanya bisa melalui satu pintu, yakni akal dengan penguasaan ilmunya. Karena akal itu merupakan sarana mengetahui dan menyadari.
Tatkala Allah menyeru umat manusia untuk mengenal-Nya dan beriman kepada-Nya, maka diseru kita untuk menggunakan ilmu. “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu.” (Al-Ankabut: 43).
Setelah akal memahami semesta, akhirnya masuk kepada kesadaran bahwa mereka itu semua tercipta untuk menopang kehadiran manusia. Sehingga, bertambah dekatlah manusia kepada Tuhan, yang nyata-nyata Mahasayang kepada umat manusia.
Selanjutnya, jika terus diasah kita kian menyadari bahwa segala makhluk itu tiada lain adalah penampakan sifat-sifat-Nya. Benar, mata kita menyaksikan bintang-bintang yang gemerlapan, arakan awan, gunung-gunung yang tampak di kejauhan, aneka tetumbuhan, dan lain-lain. Namun, akal kita menyadarkan bahwa Allah-lah yang Maha Pencipta, dan kita bukan apa dan siapa.
Hingga pada tingkatan puncak, dan haqqul bashirah memperlihatkanmu kepada wujud-Nya, bukan ketiadaanmu ataupun wujudmu. Tingkatan bahwa Allah-lah yang menegakkan segala sesuatu. Allah-lah yang menegakkan langit dan bumi. Dan tingkatan tersebut benar-benar menguasai pikiran dan kesadaran kita bahwa Allah tak semata mencipta tapi juga mengurusi.
“Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya.” (Al-A’raf: 54). Bahwa memang segala sesuatu itu ada, tapi yang mengurusi adalah Allah.
Alhasil, bashirah atau cahaya akal, bukan selera perasaan atau nafsu, yang mampu menerobos sampai pada realitas dan kebenaran yang hakiki. [Luk]