Barisan.co – Jika kamu ingin menjadi orang hebat, setidaknya memahami lima nilai jawa. Kelima nilai tersebut harus kamu miliki; wismo (rumah), wanito (istri), turonggo (kuda/transportasi), kukilo (burung), curigo (keris/senjata).
Kiai Cungkring mencoba menerapkan nilai tersebut. Memenuhi target Kiai Cungkring harus memiliki nilai kukilo atau burung. Lantas ia membeli burung. Burung pertama yang dibeli burung parkit sepasang.
Lalu ia membeli lagi jenis burung lain yakni tilang terucuk, kenari, derkuku. Terakhir ia punya pandangan lain bahwa orang jawa suka memelihara burung perkutut. Kiai Cungkring membeli enam ekor burung perkutut.
Suatu hari Kiai Cungkring menyelenggarakan acara kebudayaan. Acara tersebut dihadiri beberapa orang. Seperti Agung Wibowo sang penyair ini juga turut hadir. Namun ia memiliki keunikan tersendiri.
Di akhir acara ia bercerita. Ketika sampai di tempat acara menyaksikan bahwa acara dihadiri banyak orang. Padahal acara tersebut dihadiri segelintir orang
“Bener Kang, saya melihat banyak orang. Terlebih di area itu, area yang banyak tumbuhan dan burung. Tempat ini sangat mistis,” tuturnya.
“Jamaah Jin turut mengikuti acara kebudayaan,” lanjut Agung.
Beberapa minggu kemudian Kiai Cungkring merekam burung perkutut tersebut. Ia jadikan video untuk diuploud di channel YouTubenya. Ia memberi judul video “Perkutut Jin Cirimathi, Misteri Penjaga Rumah.” Kini video tersebut telah ditonton lebih dari dua ratus lima puluh ribu pengunjung.
Suatu hari Kiai Cungkring bercerita tentang burung kepada budayawan Eko Tunas.
“Kasihan, lepaskan saja,” sahut Eko
Lalu Eko Tunas bercerita. Dulu saat bersama Emha Ainun Najib atau yang akrab dipanggil Cak Nun, Eko Tunas diajak sowan ke rumah Kyai di Pondok Pesantren Paculgowang Jombang Jawa Timur. Sesampainya di pondok dan belum bertemu dengan Kyai, Eko Tunas malahan ngajak pulang.
“Kyai kok memelihara burung,” ucap Eko kepada Cak Nun.
Kiai Cungkring mencoba menjelaskan. Bahwasanya burung itu ada 2 habitat; pertama, jika burung diambil dari alam liar untuk dipelihara. Tentu kasihan, meski terkurung di sangkar emas. Kedua, jika burung tersebut hasil ternak, ketika kita lepaskan tentu kasihan si burung. Belum tentu burung tersebut dapat beradaptasi langsung dengan lingkungannya.
“Husss,” ucap Eko lirih.
Selang beberapa hari, Kiai Cungkring ketika memberi makan dan minum merasakan kalau ada rasa di hatinya. Benar, burung ini kasihan. Ia hidup terkurung, tidak ada kemerdekaan baginya. Meski ia diberi kemewahan, kemudahan, dan fasilitas yang baik. Namun sepertinya burung tidak memiliki kebahagiaan.
Kiai Cungkring lantas pasrah. Ada yang suka burung tersebut, ia berikan. Dibuat mainan anak untuk diterbangkan, ia biarkan. Masih ada empat burung perkutut, Kiai Cungkring membuka pintu sangkar tersebut.
“Saya tidak melepasmu. Hanya membukakan pintu ini, silahkan temukan kebahagiaan dan kebebasanmu sendiri.”
Sehari burung perkutut belum keluar. Pada hari kedua burung tersebut keluar dari sangkarnya. Kini burung perkutut tersebut memiliki kemerdekaan. Kiai Cungkring masih bisa menikmati keindahan suaranya. Sebab burung perkutut terkadang hinggap di pohon-pohon depan rumah Kiai Cungkring. Bahkan semakin seru, burung kutilang ikut meramaikan.