Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
ASET Pemerintah Pusat melonjak menjadi Rp12.325,45 Triliun pada tahun 2022, dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp11.454,67 Triliun. Kondisi itu diungkapkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, beberapa catatan terkait tentang hal itu perlu diketahui oleh publik.
Aset Pemerintah terdiri dari beberapa jenis atau kelompok aset. Diantaranya pada tahun 2022 terdiri dari: Aset Lancar sebesar Rp895,41 Triliun, Investasi Jangka Panjang sebesar Rp3.759,59 Triliun, Aset Tetap (bersih) sebesar Rp6.729,89 Triliun, Piutang Jangka Panjang (bersih) sebesar Rp53,57 Triliun, Properti Investasi (bersih) sebesar Rp38,81 Triliun, dan Aset Lainnya (neto) sebesar Rp848,18 Triliun.
Aset tetap pada tahun 2022 secara bruto sebenarnya mencapai Rp7.973,47 Triliun. Namun, tercatat akumulasi penyusutan sebesar Rp1.243,59 Triliun, sehingga nilai bersihnya sebesar Rp6.729,89 Triliun.
Aset Tetap bersih tersebut terdiri dari: Tanah (Rp4.417,29 Triliun), Peralatan dan Mesin (Rp268,03 Triliun), Jalan, Irigasi, dan Jaringan (Rp587,88 Triliun), Gedung dan Bangunan (Rp367,33 Triliun), Konstruksi Dalam Pengerjaan (Rp160,22 Triliun), Aset Tetap Lainnya (Rp35,34 Triliun), dan Aset Konsesi Jasa (Rp893,74 Triliiun).
Aset Tetap bersih tercatat mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2022 dibanding tahun 2021 yang sebesar Rp5.947,12 Triliun. Terutama karena ada subjenis atau numenklatur baru yang disebut aset konsesi jasa bersih senilai Rp893,74 Triliun.
Tidak terdapat item aset konsesi jasa dalam kelompok aset tetap pada sajian neraca tahun-tahun sebelumnya. Tanpa jenis ini, sebenarnya terjadi penurunan dalam nilai aset tetap bersih menjadi Rp5.836,15 Triliun.
Aset konsesi jasa adalah aset yang digunakan untuk menyediakan jasa publik atas nama pemberi konsesi dalam suatu perjanjian konsesi jasa. Aset dimaksud merupakan aset yang disediakan oleh mitra atau disediakan oleh pemberi konsesi. Pemberi konsesi adalah entitas akuntansi atau pelaporan pemerintah pusat, sedangkan mitra adalah operator berbentuk badan usaha.
Kenaikan aset tetap yang amat signifikan pernah terjadi pada tahun 2019. Nilai aset tetap secara neto melonjak menjadi lebih dari 3 kali lipat, dari Rp1.931,05 triliun menjadi Rp5.949,6 triliun. Hal itu karena adanya penilaian kembali (revaluasi) aset secara cukup dramatis.
Aset tetap yang mengalami peningkatan paling dramatis pada tahun 2019 adalah Tanah. Nilainya melonjak menjadi lebih dari 4,5 kali lipat, dari Rp1.018,65 Triliun menjadi Rp4.565,75 Triliun. Setelah itu justeru cenderung sedikit menurun pada tahun 2020 sampai dengan tahun 2022.
Aset tetap yang juga naik signifikan pada tahun 2019 adalah nilai aset Jalan, Irigasi, dan Jaringan. Nilai bersihnya pada tahun 2019 mencapai Rp618,05 Triliun, atau lebih dari 2,5 kali lipat dari tahun sebelumnya. Namun, nilainya cenderung sedikit menurun pada tahun-tahun berikutnya, menjadi sebesar Rp587,88 Triliun pada tahun 2022.
Aset Tetap Gedung dan Bangunan juga tercatat bertambah cukup signifikan pada tahun 2019. Mencapai Rp328,92 Triliun atau hampir 1,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Nilainya kemudian hanya meningkat perlahan dan menjadi sebesar Rp367,33 Triliun pada tahun 2022.

Dari uraian di atas, catatan dalam soal lonjakan nilai aset yang terbilang luar biasa pada tahun 2019 menunjukkan kenaikan terutama karena revaluasi aset tetap pemerintah pusat. Kenaikan terbesar dialami oleh aset tanah. Dalam porsi yang lebih kecil, pada aset tetap Jalan, Irigasi dan Jaringan, serta aset tetap berupa Gedung dan Bangunan.
Sedangkan kenaikan aset pada tahun 2022 terutama terjadi pada jenis aset tetap. Terutama karena ada numenklatur baru yang disebut aset konsesi jasa bersih. Tanpa ini, sebenarnya terjadi penurunan dalam nilai aset tetap bersih. Bahkan, akan terjadi penurunan nilai total aset.
Ketika BPK memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada LKPP tahun 2019 dan LKPP tahun 2022 dapat diartikan bahwa secara pemeriksaan akuntansi berdasar metode dan sistem yang lazim, hal itu telah dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah.
Bagaimanapun, hal ini perlu menjadi bahan diskusi yang konstruktif di kalangan pemerhati dan pembelajar serius tentang keuangan negara. Perlu dihindari narasi berlebihan seolah nilai aset melonjak lebih karena belanja modal, belanja produktif atau yang semacamnya. Begitu pula perlu dijaga kehati-hatian dalam berutang, yang mungkin “terdorong” oleh nilai aset yang besar. [rif]