Semua hukuman fisik, meski ringan sekalipun memiliki risiko eskalasi bawaan.
BARISAN.CO – Ada sejumlah kemungkinan alasan mengapa anak-anak berulah. Biasanya perilaku tersebut dilakukan untuk menutupi perasaan sakit, ketakutan, atau kesepian.
Banyak orang tua yang kemudian menganggap anak itu nakal. Padahal, menyalahkan mereka seperti itu justru akan memperburuk keadaan. Anak bisa saja semakin jauh melangkah.
Kemudian, parahnya lagi, anak-anak dipukul. Secara global, hukuman fisik sangat lazim terjadi.
Data UNICEF menemukan, ada sekitar enam dari sepuluh anak berusia 2-14 tahun mengalami hukuman fisik oleh orang dewasa di rumahnya dalam sebulan terakhir. Rata-rata, sebanyak 17 persen anak mengalami hukuman fisik yang parah, seperti dipukul di bagian kepala, wajah, atau telinga, bahkan memukul mereka dengan keras dan berulang kali.
Sementara berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) “Profil Anak Indonesia Tahun 2022“, terdapat 18.994 jumlah korban kekerasan terhadap anak dan mayoritas tempat kejadiannya di rumah. Dari jumlah korban kekerasan tersebut sekitar 18 persennya merupakan korban kekerasan fisik.
Penghapusan kekerasan terhadap anak diserukan dalam beberapa target Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030, tetapi yang paling eksplisit dalam Target 16.2: “Mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”.
Memukul anak juga dapat menjerat pelaku penganiayaan anak yang diatur dalam Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”
Sanksi pidana bagi orang atau pelaku yang melanggar terancam hukuman pidana paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
Orang tua yang memukul anak-anak mungkin percaya, memukul dapat mendisiplinkan anak. Namun pada kenyataannya, memberikan hukuman fisik dapat membuat perilaku menjadi lebih buruk daripada sebelumnya dan dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang.
Semua hukuman fisik, meski ringan sekalipun memiliki risiko eskalasi bawaan. Studi menunjukkan, orang tua yang menggunakan hukuman fisik berisiko tinggi melakukan penganiayaan berat.
Hukuman fisik telah dikaitkan dengan berbagai hasil negatif bagi anak-anak di berbagai negara dan budaya, termasuk kesehatan fisik dan mental, gangguan perkembangan kognitif dan sosial-emosional, nilai pendidikan yang buruk, peningkatan agresi, dan perbuatan kekerasan.
Selain itu, hukuman fisik juga dapat mengurangi kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Terlebih, orang tua yang memukul anak di masa kecilnya juga mengalaminya. Sehingga, orang tua mungkin melakukan itu kepada anaknya saat ini karena dendam atas perlakuan orangtuanya di masa lalu.
Oleh karena itu, selain mencegah dampak buruk yang bisa dialami anak akibat tindakan orang tua ini, ini juga dapat mengakhiri spiral kekerasan dari orang tua ke anak di masa depan. [dmr]