TERAS itu dinaungi jalaran anggur hijau, dan ada restbank berwarna biru muda. Ebiet G Ade pernah bergitar di situ, bikin para teman tercengang. Mula-mula Edi sedang bergitar, saat aku dan Ebiet datang malam itu. Ada beberapa teman, dan dia wira-wiri malu tapi mau.
Melihatnya aku segera jatuh, diiringi lagu dan bergitar Edi kakak dia. Lagu dari Scorpion, Still Loving You. Kami ikut rengeng-rengeng, juga dia di antara wira-wiri. Diam-diam aku tahu, namanya Tarwi, klas tiga SMP. Manis sawomatang bungkukudang. Ada setitik tahi lalat di atas bibir sebelah kiri.
Bagai anggur hijau dia, kecut menggemaskan. Ruang depan rumah itu terbuka, di samping teras ada ruang tamu agak ke dalam. Dia lalu duduk di situ bersama kakak perempuannya. Saya menyandar ke buhul teras, saling pandang senyum. Ada desir di dada, bersamaan Ebiet disila Edie bergitar. Jack Liman bergumam ragu, ‘apa bisa…’
Ebiet memang belum terkenal waktu itu, meski di Yogya namanya dikenal dalam duet Ebiet+Emha. Jack Liman yang di kampung kami dikenal sebagai free man berdecak tak percaya, saat Ebiet mulai klentang-klenting snar gitar. Tapi begitu mulai intro, Jack berseru, ‘ishh..ishh..!”
Semua terperangah, terutama Jack, tak terkecuali Tarwi seperti tersedot magnit wira-wiri lagi. “Hebat, hebat teman Eko!” kagum Jack. Terlebih saat Ebiet menyanyikan lagu Polos, dari puisi Emha. Giliran aku kena magnit dalam kumparan tinggi, tersedot ke ruang tamu. Duduk bertiga dalam desir di dada serasa anggur hijau.
NINING kakak perempuan Tarwi bertanya, ‘Eko pulkam apa liburan?’ Aku berterus terang, ‘bolos, baru mengantar Ebiet pentas di Surabaya.’ Tarwi antusias bertanya, “show di mana?” Lalu aku ceritakan, Ebiet memenuhi undangan Leo Kristi, untuk tampil di acara Blend Fountry 77 di Gelora Pahlawan Surabaya.
Ada tiga grup yang tampil. Leo Kristi, Gombloh Lemontris, Franky and Jane, dan Ebiet sebagai bintang tamu. Diawali Leo tampil tunggal, lalu memanggil Ebiet untuk membawakan dua lagu secara gitar tunggal. Aku jadi gelisah di belakang panggung, saat terjadi kepanikan dari Leo, Gombloh dan Franky.
Ternyata dikabarkan, panitia lari. Mereka berembuk. Diputuskan, Leo Kristi dan Franky and Jane tetap tampil, mengingat penonton memenuhi gedung berkapasitas limaribu penonton. Gombloh Lemontris entah dengan alasan apa, menolak tampil. Suasana di balik panggung terasa mencekam.
Rampung acara kami jadi terlupakan, sebab semua mengejar panitia yang lari. Kami berdua terduduk lesu di teras gedung, tidak tahu mau kemana. Mau menginap di mana. Saat kami putuskan mau tidur saja di teras, penjaga gedung menghampiri, berkata bahwa pintu pagar mau ditutup. Dengan kata lain, kami diusir.
Kami terlunta, di lewat tengah malam, di kota Surabaya yang terasa bagai raksasa mau menelan kami. Berjalan di rongganya yang gelap, seperti lagu puisi Ebiet yang tadi dinyanyikan: Surabaya seperti rongga tak aku kenal, menyuruk ke lipatan antara rindu menghantu.
NINING tersenyum senyum, tapi Tarwi termangu seperti terbawa masuk ke rongga cerita kelam. Aku pun melanjutkan cerita, setelah Nining bertanya, ‘terus bagaimana Eko.’ Kami terus berjalan dalam dingin malam, lanjutku, sampai aku melihat ada Kerlip nyala di kegelapan. Ternyata itu satu warung kecil ala Abang Becak. Dan memang ada satu becak terparkir.
Kami putuskan untuk singgah dengan uang sisa pas-pasan. Tampak Ibu penjaja warung setengah terkantuk, dan seorang Abang becak sedang ngopi dan ngudud. Aku memesan dua gelas teh. Ebiet pun tampak sudah lesu dan mengantuk. Kami bicara, bagaimana sebaiknya, lalu aku usulkan, sebaiknya kita numpang tidur di bangku warung.
Aku kemudian minta ijin si Ibu, tapi beliau menolak. Sebabnya warung mau tutup, dan tidak ada orang lain di warung. Harapan terputus, bersama daya yang bagaikan kerupuk tercelup ke dalam teh. Tapi malaikat penolong rupanya mendengar ketidakberdayaan kami, si Abang becak yang kemudian menyebut namanya, Kliwon.
Dia mendengarkan pembicaraan kami, dan sontak menawarkan untuk menginap di rumahnya. Aku katakan, kami sudah kehabisan uang. Kang Kliwon kontan menyahut, ‘tidak apa, monggo saya antar ke gubug saya.’ Kami pun pasrah bongkokan pada sang malaikat.
Di dini hari itu kami dikayuh sang malaikat, ternyata perjalanan becak jauh meluluh. Sampai kemudian kami sampai di hamparan kegelapan. Ada bedeng bedeng rumah yang benar-benar rumah gubug. Berdinding bambu, dan rumah Kliwon tak ubahnya bilik berlantai tanah. Kami mencoba memejamkan mata. Tapi teman kami tidak hanya nyamuk, melainkan juga tikus-tikus.
HINGGA kami baru bisa tidur saat terang tanah. Kira-kira kami tidur empat jam, dan saat kami terbangun dari dipan beralas tikar, di meja kayu kecil ada dua bungkus nasi dan dua gelas teh. Dalam hati aku berkata, oh sang malaikat. Kliwon dan becaknya tidak tampak di luar bilik. Tampak bedeng-bedeng itu berada di tengah hamparan sawah kering.
Setelah kami makan, Kang Kliwon datang, dan menawarkan, ‘ke mana lagi saya mesti antar.’ Kami berbicara, Ebiet ingat punya seorang teman yang bekerja di satu kantor perusahaan di pusat kota, ‘nanti aku bisa pinjam uang,’ katanya. Untuk ongkos kereta pulang. Kliwon bersetuju, siap mengantarkan kami lagi.
Perjalanan becak seperti yang semalam, meluluh jauh, di tengah siang Surabaya. Ebiet masuk ke dalam kantor perusahaan eksport import itu. Cukup lama, aku dan Kliwon menunggu di pinggir jalan. Sampai kemudian Ebiet keluar dengan wajah cukup cerah, dan segera minta kepada Kliwon mengantarkan kami ke stasiun.
Sampai di stasiun Ebiet pun menyodorkan uang untuk Kang Kliwon. Tapi inilah moment pungkas yang membuktikan sang malaikat, Kang Kliwon menolak uang itu. Walau kami memaksa, dia tetap menolak seraya berkata, ‘saya benar benar berniat membantu.’ Aku lihat ada getar dan mata Ebiet yang basah, lalu memeluk sang malaikat.
Aku lihat getar raut dan basah air mata di wajah Tarwi yang sontak seperti tak kuasa masuk ke dalam rumah. Aku lihat pintu rumah terbuka sedikit. Lalu aku lihat Tarwi melongok dan melambaiku, aku pun menghampiri. Tampak dia mengusap air mata, seraya membisik, ‘aku suka pengalamanmu.’ Dan aku pun menyahut, “ya, hidup adalah pengalaman…” [Luk]