Setelah kejadian ini, dia bersumpah untuk tidak pernah menggunakan AI untuk menambah penelitian hukumnya di masa depan tanpa verifikasi mutlak keasliannya.
BARISAN.CO – Kemajuan teknologi tentunya akan membantu kita dalam menjalankan tugas sehari-hari. Begitu juga saat hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI) berupa ChatGPT, semua orang di seluruh dunia hampir menjajalnya dan menggunakannya untuk mempermudah pekerjaan.
Namun, tak seperti yang dibayangkan, ChatGPT memiliki kekurangan, seperti misinformasi. Hal ini menimpa seorang pengacara bernama Steven Schwartz yang bekerja di firma Levidow, Levidow & Oberman di Manhattan, Amerika Serikat.
Kisah ini bermula ketika Schwartz mengutip beberapa tuntutan hukum guna mendukung kasus kliennya, Paul Loduca yang mengajukan gugatan terhadap maskapai penerbangan Kolombia Avianca atas nama Robert Mata, yang diduga terluka ketika sebuah troli logam mengenai lututnya dalam penerbangan ke New York City.
Ketika pengacara maskapai meminta pengadilan untuk membatalkan gugatan, Schwartz mengajukan laporan singkat yang diduga mengutip lebih dari setengah lusin kasus yang relevan. Namun, dari kasus-kasus yang dia kutip, muncul masalah saat ChatGPT mengarang kasus Miller v. United Airlines, Petersen v. Iran Air, Varghese v. China Southern Airlines, Martinez v. Delta Airlines, Shaboon v. EgyptAir, dan Estate of Durden v. KLM Royal Dutch.
Awal bulan Mei 2023, Hakim Federal Manhattan, P. Kevin Castel menyatakan, pengadilan dihadapkan dengan keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pertanyaan itu selanjutnya dimuat dalam dokumen yang dilaporkan pertama kali oleh The New York Time, Sabtu (27/5/2023).
Schwartz dan Loduca pun diminta hadir dalam sidang tanggal 8 Juni mendatang untuk menghadapi kemungkinan sanksi.
“Enam dari kasus yang diajukan tampaknya merupakan keputusan yudisial palsu dengan kutipan palsu dan kutipan internal palsu,” tulis Castel.
Dalam sebuah surat pernyataan tertulis yang diajukan minggu lalu, Schwartz mengakui dia menggunakan ChatGPT saat menyusun dokumen yang diajukan Loduca. Schwartz menulis, ia “bergantung pada pendapat hukum yang diberikan kepadanya oleh sumber yang telah mengungkapkan dirinya tidak dapat diandalkan.”
Sedangkan, Loduca dalam sebuah pernyataan tertulis menyebut, dia tidak terlibat dalam penyimpangan dan tidak punya alasan untuk meragukan keaslian hukum kasus yang dibuat dalam dokumen tersebut. Loduca menambahkan, dia telah bekerja dengan Schwartz selama tiga dekade dan tidak pernah ingat dia ingin menyesatkan pengadilan.
Schwartz menambahkan, dia sangat menyesal mengandalkan chatbot, yang dia katakan dia tidak pernah gunakan untuk penelitian hukum sebelumnya dan tidak menyadari bahwa isinya bisa salah. Dia telah bersumpah untuk tidak pernah menggunakan AI untuk menambah penelitian hukumnya di masa depan tanpa verifikasi mutlak keasliannya.
Kejadian yang menimpa Schwartz ini membuat banyak orang menudingnya sebagai orang yang malas karena tidak memeriksa kasusnya. Bahkan, segelintir orang juga berharap agar lisensi pengacara Schwartz ditangguhkan dan mungkin dipecat atas keteledorannya. (Yat)