“Bapak tidak perlu takut. Saya akan menjaga kerahasiaan ini,” ucap dokter Budiman seolah tahu keraguan yang mendera batin Hansip Diran. Namun begitu Hansip Diran masih saja terdiam seribu bahasa. Ia tak yakin jika dokter Budiman akan sanggup merahasiakan seluruh omongannya nanti.
“Baiklah kalau Bapak tak mau mengatakannya,” kata dokter Budiman sambil matanya melirik ke arah arloji yang dipakainya. Rupanya pancingan dokter Budiman berhasil. Terlihat Hansip Diran menghela nafasnya. Sepertinya ia tengah mengambil ancang-ancang untuk memulai ceritanya kembali.
“Pak Tua,” ucap Hansip Diran lirih seperti tengah berbisik.
“Pak Kades maksudnya?” tanya dokter Budiman seperti ingin meyakinkan maksud perkataanHansip Diran. Mendengar pernyataan dokter Budiman Hansip Diran hanya mengangguk saja.
“Lalu siapa lagi?” desak dokter Budiman semakin penasaran saja.
“Pak Muda dan Pak Brewok,” jawab Hansip Diran tetap dengan nadanya yang lirih seperti sebelumnya.
“Pak Carik dan Pak Mantri Polisi maksudnya?” Sekali lagi dokter Budiman hendak menegaskan apa yang dimaksud oleh Hansip Diran.
Dalam hati dokter Budiman semakin penasaran dibuatnya. Hansip Diran sengaja menggunakan nama-nama alias dari masing-masing orang yang ia maksud. Apalagi nama alias itu memang sudah umum menjadi sapaan mereka.
“Kabarnya lagi sewaktu Pak Diran dipanggil untuk menghadap Pak komandan polisi kecamatan, beliau saat itu juga terlihat seperti Buto Genthong juga ya?” tanya dokter Budiman seperti ingin mengkorek cerita yang sesungguhnya dialami oleh Hansip Diran.
Lagi-lagi Hansip Diran hanya dapat menganggukkan kepalanya mengiyakan perkataan dokter Budiman. Sebagai seorang pengusaha sebenarnya dokter Budiman sudah mendengar seluruh kabar tersebut.
“Apa yang Pak Diran lakukan ketika melihat pak komandan polisi tiba-tiba juga terlihat sebagai Buto Genthong?” tanya dokter Budiman penasaran. Mendengar pertanyaan barusan, Hansip Diran terdiam sejenak.
Tubuhnya tiba-tiba terlihat menggigil ketakutan. Namun begitu tak seberapa lama mulutnyapun angkat bicara.
“Spontan Saya berteriak-teriak. Ada Buto Genthong! Ada Buto Genthong! Sambil telunjuk saya menunjuk ke arah tempat duduk yang ditempati oleh pak komandan polisi,?\” jawab Hansip Diran menirukan kejadian saat itu.
“Lalu?” tanya dokter Budiman semakin tambah penasaran.
“Selanjutnya beberapa orang polisi masuk dan segera meringkus saya. Beberapa bogem mentah sempat mendarat di muka saya. Bahkan saya harus meringkuk di jeruji besi untuk beberapa hari,” lanjut Hansip Diran sedih.
“Di dalam jeruji itu Saya juga sempat diancam. Katanya mata Saya akan dicongkel jika masih meneriaki pak komandan polisi dengan perkataan Buto Genthong,” ucap Hansip Diran melanjutkan ceritanya. Suaranya terdengar terbata-bata saking takutnya.
Bagi dokter Budiman sebenarnya sepak terjang orang-orang yang tadi disebutkan oleh Hansip Diran sudah tak asing lagi. Menurut kabar yang sudah menjadi rahasia umum mereka semua memang terlibat bisnis haram mulai dari mengelola judi togel, sabung ayam, miras, warung remang-remang hingga penyerobotan tanah warga desa.
Namun karena amplopnya sudah beredar di berbagai meja, keempat orang tersebut bagai belut yang licin. Bupati saja tak berani menyentuh Kepala Desa yang dimaksud oleh Hansip Diran. Demikian juga dengan Kapolres. Komandan polisi itu seperti tutup mata saja dengan kelakuan anak buahnya yang nakal. Padahal masyarakat sudah berkali-kali mengadukannya.