BARISAN.CO – Kultum atau kuliah tujuh menit merupakan sebuah ceramah agama singkat. Biasanya Kultum disampaikan sambil menunggu berbuka, usai sholat tarawih atau mengisi waktu setelah sholat subuh.
Meskipun hanya berdurasi singkat yakni sekitar 5-7 menit saja, namun ada banyak tema atau pesan yang bisa diangkat dalam kultum Ramadhan ini.
Salah satu tema yang sering disampaikan adalah kultum tentang I’tikaf. Karena pada 10 hari terakhir Ramadan ini termasuk waktu yang disunahkan Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan i’tikaf.
Sebagai referensi untuk para penceramah, berikut contoh kultum Ramadhan tentang hikmah i’tikaf, sebagai momen untuk merehab hati di bulan suci:
سم الله الرّحمن الرّحيم
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَافِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ
Segala puji bagi Allah swt., Tuhan semesta alam. Tuhan yang telah memberikan kita nikmat iman, Islam, dan ihsan. Tak lupa pula kita curahkan selawat serta salam kepada junjungan kita semua, Nabi Muhammad saw. Semoga kita menjadi umat-umatnya yang kelak diberikan ampunan oleh Allah swt.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah!
Amalan dilakukan saat bulan suci Ramadan, terutama pada 10 malam terakhir adalah I’tikaf. Secara syar’i, I’tikaf yaitu tinggal di masjid dan duduk di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri dan tertidur di masjid, namun melakukan amalan-amalan lain seperti salat sunah, berzikir, tadarus ataupun mengikuti kajian.
Terkait jangka waktunya, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama mengenai hal ini .
Berdasarkan mazhab Imam Maliki, sepanjang siang dan malam selama 24 jam. Namun menurut mazhab Syafei, walaupun hanya berdiam sejenak dan waktunya lebih lama dari rukuk maka sudah bisa disebut sebagai i’tikaf. Sementara Mazhab Hanafi berpendapat iktikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan salat berjamaah.
I’tikaf merupakan pekerjaan yang sangat dianjurkan oleh Baginda Nabi Besar kita Nabi Muhammad SAW. Sebagaiman yang di sebutkan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab beliau Bulughul Marom, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan i’tikaf.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).
Maka sudah selayaknya umat Islam memanfaatkan bulan Ramadhan untuk i’tikaf, meski hanya sekali dalam setahun. Namun sayangnya, hanya sedikit yang benar-benar bersemangat menunaikan ibadah ini.
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, dalam karyanya yang berjudul al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, mengutip perkataan Imam az-Zuhri, “Sungguh mengherankan keadaan kaum muslimin. Mereka meninggalkan i’tikaf. Padahal, Rasulullah tidak pernah meninggalkannya sejak tiba di Madinah, sampai Allah mewafatkannya.”
Syaikh Wahbah juga menyebutkan beberapa hikmah di balik syariat i’tikaf. Di antaranya yang paling utama adalah “Shafa’ul qalbi” (beningnya hati).