Oleh: Achmad Fachrudin, Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas PTIQ Jakarta
PADA dasarnya dakwah merupakan aktivitas di ranah publik yang sifatnya empirik dan konkret. Bukan di ruang hampa yang abstrak dan kosong tanpa makhluk hidup di dalamnya. Karena berada di ruang nyata, dakwah diperlukan untuk menjawab problem yang juga nyata. Salah satu masalah nyata yang dihadapi umat dan bangsa Indonesia saat ini adalah ancaman krisis ekonomi yang berpotensi berdampak kepada krisis multi dimensional.
Ancaman krisis ekonomi sendiri sudah menjadi wacana umum di fora internasional, termasuk di Indonesia. Tidak kurang Presiden Joko Widodo ikut mengungkapkannya. “Meskipun proyeksi pertumbuhan ekonomi rata-rata masih terus positif, namun kedepannya, tantangan ekonomi kawasan akan makin berat apalagi dengan ancaman reses,” ungkap Presiden RI Joko Widodo saat berbicara pada ASEAN Global Dialogue Ke-2: Post COVID-19 Comprehensive Recovery di Hotel Sokha, Phnom Penh, Minggu (13/11/2022).
Menurut Bank Dunia (World Bank), situasi saat ini menjadi yang paling parah sejak perang dunia ke II. Aktivitas ekonomi menyusut drastis hingga 7%. Pasar ekonomi negara berkembangpun menyusut 2,5%. Ini merupakan kali pertama ekonomi negara berkembang terkontraksi sejak 60 tahun lalu. Pukulan dari pandemi Covid-19, menghantam negara-negara yang terkena dampak pandemi paling parah yang ekonominya bergantung besar pada perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas, dan pembiayaan eksternal. (https://www.cnbcindonesia.com).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat sebesar 5,03% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01% (yoy). Ke depan, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan tetap kuat pada batas atas kisaran 4,5-5,3%, didorong oleh perbaikan permintaan domestik dan tetap positifnya kinerja ekspor. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan, pemerintah Indonesia agar tetap waspada dalam melakukan kebijakan moneter dan fiskal domestik untuk menghindari resesi.
Dampak Krisis Ekonomi
Ancaman krisis ekonomi menimbulkan berbagai dampak yang mengkhawatirkan. World Bank Group President David Malpass menuturkan, resesi 2023 berisiko membuat pertumbuhan global melambat. Hal tersebut berisiko dialami masyarakat. Diantaranya: kenaikan harga kebutuhan sehari-hari termasuk makanan, pemutusan kerja, kenaikan harga pasokan energi, dan naiknya angka kemiskinan.
CNBC Indonesia menganalisis, resesi ekonomi akan membuat kondisi perekonomian domestik menjadi tidak pasti, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan melemah. Sebagai catatan, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas dengan kontribusi sebesar 50%. Selama ini, Indonesia memang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas setelah perang Rusia-Ukraina Meletus. Namun tanda-tanda habisnya efek ‘durian runtuh’ bagi komoditas andalan RI mulai habis.
Terbukti, Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan harga beberapa komoditas di tingkat global lebih rendah dibandingkan beberapa bulan terakhir. Harga minyak kelapa sawit turun cukup dalam pada periode Juni sampai dengan September 2022. Pada September, crude palm oil (CPO) turun 23,03% (year-on-year/yoy) menjadi US$ 909 per metrik ton. Minyak sawit juga turun 11,37% secara bulanan (month-to-month/mtm).
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Riau Detri Karya mencermati, dampak yang dirasakan oleh Indonesia akibat gelombang resesi ekonomi diantaranya pertama: akan muncul kesenjangan antara orang kaya dan miskin serta akan semakin terasa. Sebagai informasi, menurut BPS, Januari 2023, penduduk miskin di pedesaan mencapai 12,36%, September 2022. Menurut World Bank, satu dari enam orang Indonesia, miskin. Maknanya, ada 40 juta orang Indonesia yang miskin ekstrem. Mereka yang miskin normal, 120 juta orang.
Kedua, jumlah angka pengangguran kian meningkat, sehingga pemerintah dituntut untuk menemukan solusi agar lapangan kerja dapat menyerap tenaga kerja kembali. Data BPS, Februari 2023 menyebutkan, pengangguran mencapai angka 5,45%. Untuk pengangguran terdidik, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma. Besarnya jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi ini disebabkan tidak adanya link and match antara perguruan tinggi dengan pasar kerja.
Sebelumnya dikabarkan, resesi ekonomi memukul telak dunia usaha. Sejumlah perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawannya. Antara lain PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Perusahaan teknologi ini memutuskan untuk melakukan PHK terhadap 1.300 karyawan atau sekitar 12% dari total karyawan Grup GoTo, Indosat Ooredoo Hutchinson (IOH), yang melakukan PHK karyawan pada hari Jumat 23 September, GrabKitchen yang akan menutup layanannya di Indonesia terhitung 19 Desember 2022, Perusahaan rintisan penyedia sewa hunian, Mamikos pada Juli lalu juga melakukan PHK terhadap sekitar 100 karyawannya, dan lain-lain
Ketiga, pengeluaran pemerintah semakin besar karena pembangunan harus terus dilakukan, sehingga salah satu langkah taktisnya adalah pemerintah harus menambah utang untuk mengakomodir biaya pembangunan tersebut. Keempat, bagi perusahaan, untuk mengurangi biaya produksi yang tinggi maka akan banyak pelaku usaha yang menerapkan kebijakan PHK kepada para pekerjanya.
Dari Krisis Teologi Hingga Mentalitas
Resesi ekonomi berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap aspek-aspek non ekonomi. Pertama, dampak teologis. Yakni: dapat menggerogoti keimanan dan ketakwaan umat kepada Allah SWT. Seperti diperingatkan oleh Rasulullah SAW: “iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang”. Dikaitkan dengan faktor ekonomi, iman berpotensi bertambah bila ekonomi stabil atau bertambah, dan bisa berkurang manakala ‘kantong’ menipis, apalagi kosong melompong.
Kedua, krisis spiritualitas. Yakni: makin menjauhkan umat dari melaksanakan perintah Allah. Bahkan Nabi Muhammad SAW menengarai: “kefakiran (kurangnya harta benda) berpotensi menjadikan seseorang menjadi ingkar terhadap perintah Allah (kufron)”. Ketiga, krisis moralitas. Berupa semakin merajalelanya tindakan tidak bermoral dan anti sosial. Seperti melakukan tindakan kriminalitas, kejahatan, korupsi, dan sebagainya.
Keempat, krisis rumah tangga. Berupa ancaman terhadap keutuhan keluarga: Sakinah, Mawaddah dan Rahmah (Samara). Yang sering terjadi adalah justeru percekcokan, pertengkaran, keributan, pertikaian atau konflik antara suami dengan istri akibat ketidak terpenuhinya kebutuhan dasar (basic need) karena diterpa krisis ekonomi. Bahkan manakala krisis ekonomi berkelanjutan begitu lama, berpotensi menimbulkan perceraian (divorce).
Kelima krisis sosial. Berupa melemah atau menurun silaturahmi, kohesivitas, semangat bergotong royong, simpati dan simpati terhadap sesamanya. Hal ini disebabkan karena orang lebih banyak berkutat atau menyelesaikan urusan dan problemnya sendiri daripada orang lain. Keenam, krisis mentalitas (mental illness/disorder) dan kejiwaan. Seperti: mudah emosi, depresi, cemas (anxiety), serta skizofrenia. Yakni: sejenis mental illness yang terjadi saat penderitanya tidak mampu membedakan kenyataan dan pikirannya sendiri. Gangguan ini bisa menyebabkan penderitanya mengalami pemikiran yang tidak realistis, halusinasi, dan perubahan perilaku.
Dari Wawasan Hingga Kompetensi
Sebagai aktivitas yang bersentuhan dengan dinamika dan problematika masyarakat, bangsa dan negara, mau tidak mau dakwah harus mampu memberikan jawaban terhadap problem nyata yang dihadapi oleh umat, dan bangsa saat ini, yakni: ancaman krisis ekonomi. Selain tetap pula memperhatikan isu atau agenda dakwah lainnya, seperti penguatan akidah, syariah, akhlak, dan lain-lain.
Untuk dapat berkontribusi mengatasi krisis ekonomi dan problem ekonomi umat pada khususnya yang memang sepenuhnya tergarap dengan maksimal, pertama juru dakwah dan institusi dakwah harus menyadari bahwa umat dan bangsa kini secara obyektif tengah mengalami ancaman krisis ekonomi. Tanpa sense of crisis semacam itu, mustahil krisis ekonomi dapat dianggap sebagai ancaman yang harus direspon dan dicarikan solusinya.
Kedua, memiliki pengetahuan, pemahaman dan wawasan minimal terhadap isu ekonomi. Akan lebih baik manakala memiliki pemahaman memadai mengenai krisis ekonomi serta berbagai dampak yang ditimbulkannya. Ketiga, mengenali spektrum masalah yang berhubungan dengan krisis ekonomi serta faktor penyebab krisis ekonomi tersebut. Keempat, memahami berbagai opsi mengenai solusi yang mesti harus dilakukan untuk mengatasi krisis ekonomi, serta mampu memilih solusi terbaik diantara berbagai solusi yang tersedia.
Kelima, memiliki kompetensi atau skill untuk mengatasi ancaman dan problem krisis ekonomi, Tentang poin empat dan lima tersebut bisa dimiliki dan dikuasai oleh juru dakwah itu sendiri, tetapi bisa juga berkolaborasi dengan individu atau pihak lain yang memang mempunyai latar pendidikan dan keterampilan di bidang ekonomi dan bisnis, atau kewirausahaan. Sementara juru dakwah cukup memberikan kontribusi dari sisi konsepsi, wawasan, perspektif, serta etika ekonomi, bisnis atau kewirausahaan (entrepreneurship).
Masjid, Kampus dan Lembaga Dakwah
Karena ikhtiar pengentasan kemiskinan dan pengangguran, pemberdayaan dan penguatan ekonomi umat sebagai dampak dari krisis ekonomi sangat berat dan kompleks, juru dakwah fardiyah (individu) atau jamiyah (lembaga) perlu berkolaborasi dengan mitra-mitra strategis yang memiliki sumber-sumber ekonomi, baik pemerintah (pusat ataupun daerah) maupun non pemerintah. Yang terakhir seperti kalangan pengusaha, pelaku dunia usaha, pemilik modal, bankir, startup dan sebagainya.
Secara khusus perlu dipertimbangkan masjid, kampus khususnya kampus Islam dan lembaga dakwah, untuk menjadi tempat atau lokasi dari kegiatan pembinaan, bimbangan dan pelatihan. Sebelumnya dilakukan pendataan mengenai umat yang terpapar krisis ekonomi. Setelah diberikan pelatihan, jika perlu diberikan modal usaha. Prinsipnya: kepada obyek pembinaan diberikan ‘kail’ dan bukan ‘ikan’. Bukan memberikan bantuan yang sifatnya konsumtif, dan cepat atau habis pakai. Sebab cara tersebut tidak mendidik. Bahkan berpotensi melanggengkan kultur kemiskinan.
Dengan cara demikian, ketiga pilar institusi Islam akan selalu hadir guna menjawab tantangan nyata yang dihadapi umat dan bangsa. Tidak seperti saat ini dimana masjid, kampus dan lembaga dakwah masih lebih berkutat pada dakwah bil lisan (lisan) atau bil qolam (tulisan). Sementara dakwah bil hal (tindakan nyata dengan cara menyantuni fakir miskin, menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan keterampilan dan sebagainya), belum sepenuhnya dilakukan secara maksimal, apalagi terinstitusionalisasi. [rif]