Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Dari Sebuah Diskusi: Menegakkan Habit of Obedience

Redaksi
×

Dari Sebuah Diskusi: Menegakkan Habit of Obedience

Sebarkan artikel ini

Sehingga, kita kudu berpegang teguh pada prinsip short lessons. Bahwa jam belajar anak harus berlangsung singkat. Lagi, tidak bertarget harus menyelesaikan tiap bacaan sampai sekian halaman dalam sekian waktu. Karena tiap anak melaju dengan kecepatannya sendiri. Tiap anak berbeda, termasuk dalam menentukan “momentum” atas ide yang bakal jadi miliknya.

Minat dan Bakat

Pertanyaan menarik lagi dari Ellen, “Apakah dengan minat dan bakat, lantas kebutuhan budi anak terpenuhi?”

Nah, itu! Semula saya, sebagaimana juga melanda umumnya para orangtua, menganut mazhab minat-bakat. Saya sempat tersibukkan meneropong minat dan bakat anak. Saya berangan akan mengawal anak menjadi seorang atlet. Pernah pula berencana untuk mendekatkannya pada seorang animator, karena terbersit buah hati saya itu sedemikian gandrung pada animasi.

Saya sempat beranggapan bahwa makin dini memahami minat dan bakat anak, kian jelas pula nasib masa depannya. Seolah kita bakal menyelamatkan roda nasib anak dengan menggiringnya ke kancah industri “minat dan bakat”. Padahal, menurut Charlotte, pengetahuan teknis itu tidak memberi makan budi. Budi itu spiritual. Dan nutrisi budi adalah ide-ide. Anak terlahir dengan rasa lapar alamiah terhadap pengetahuan yang bermuatan pemikiran.

Namun, bukan berarti yang teknis itu tak perlu. Maka, solusi yang ditawarkan Charlotte adalah short lessons. Menghidangkan ide-ide dalam jam belajar yang pendek, dan dijalani secara teratur. Tidak asal-asalan. Persis sebagaimana kita makan, supaya sehat, mesti teratur dan memenuhi standar kualitas gizi. Sehingga dalam tubuh yang sehat, niscaya terbuka kesempatan untuk bisa melakukan hal-hal baik. Demikian pula, dalam jiwa yang sehat, akan gampang mengakses pengetahuan teknis. Menekuni keterampilan di luar pelajaran, berolahraga, atau hobi-hobi dan kegiatan positif lainnya.

Pokok perbincangan selanjutnya yang tak kalah seru adalah seni. Ellen sekilas menyinggung, sebelum purna diskusi, perihal kepekaan anak pada keindahan. Setiap anak, menurut Charlotte sebagaimana ungkap Ellen, terlahir begitu peka pada seni dan karya-karya para seniman. Tinggal bagaimana kita selaku orangtua bisa mempertahankan cita rasa tersebut.

Sehingga, penyelenggaraan sebuah pendidikan semestinya bisa membuka peluang setiap anak untuk bisa mengakrabi galeri-galeri yang memajang lukisan karya para seniman besar. Semua kalangan tanpa terkecuali. Itu yang dulu diperjuangkan Charlotte bahwa kesenian dan karya budaya mestinya bukan privilese anak orang kaya saja. Kesenian harus menjadi pengetahuan semua kelas sosial. “Kesenian perlu dididikkan pada anak. Kalau tidak, kelak dia akan kurang mengapresiasi karya seni.”

Topik menarik lagi, sebagai penutup obrolan, adalah soal pendidikan agama. “Iman itu beyond reason.” Artinya, buat anak-anak akan lebih gampang masuk, karena mereka belum tesergap perasaan ragu. Belum banyak pertimbangan rasional. Belum teracuni oleh pertanyaan kritis. Dan lain sebagainya.

Syahdan, dari obrolan itu, dari sebuah diskusi bersama pegiat living books, saya mulai mengerti kenapa pilihan bacaan mereka kebanyakan berlanggam sastra. Karena itu tadi: sebagai asupan bacaan yang mengasah kepekaan nurani, yang mengasah karakter anak. Anak-anak diajak menghayati kisah-kisah petualangan, keberanian, kesungguhan, ketaatan pada orangtua, pada guru, suka, duka, dan cinta pada kehidupan. Pikiran mereka terbuka, dan tersambung pada keagungan Tuhan. Mereka memiliki pijakan. Mereka punya identitas yang kuat. Dan mereka tak akan tergiur pada kelompok separatis. Golongan ekstrem. Kelompok fanatik yang intoleran.