Saat ini, ada ribuan jenis plastik yang berbeda dan tidak ada satu pun yang dapat dilebur menjadi satu.
BARISAN.CO – Setiap tahun, sekitar 8 hingga 10 juta ton sampah plastik berakhir di lautan. Jika tidak kunjung diatasi, bukan tidak mungkin, lebih banyak plastik daripada ikan yang berenang di laut pada tahun 2050.
Sampah plastik yang dibuang ke alam tidak hilang begitu saja. Mereka hanya berubah menjadi mikro atau nanoplastik dalam waktu puluhan tahun hingga ratusan tahun setelahnya. Plastik-plastik ini kemudian akan terus meresap ke dasar hutan, sungai, laut, bahkan makanan yang kita konsumsi.
Laporan Greenpeace menemukan, hanya 6 persen sampah plastik di Amerika Serikat yang didaur ulang. Greenpeace menegaskan, daur ulang plastik hanya mitos yang disebarkan oleh bisnis besar.
Lisa Ramsden, juru kampanye plastik senior untuk Greenpeace USA mengatakan, lebih banyak plastik yang diproduksi dan persentase yang didaur ulang justru lebih kecil.
“Krisis semakin memburuk dan tanpa perubahan drastis akan terus memburuk karena industri berencana melipatgandakan produksi plastik pada tahun 2050,” jelasnya.
Pakar pengelolaan sampah menyebut, mahalnya biaya pengumpulan dan pemilahan sebagai masalah bagi plastik. Saat ini, ada ribuan jenis plastik yang berbeda dan tidak ada satu pun yang dapat dilebur menjadi satu. Plastik juga terdegradasi setelah satu atau dua kali penggunaan. Greenpeace menemukan, semakin banyak plastik yang digunakan kembali malah semakin beracun.
Sebaliknya, plastik baru murah dan mudah diproduksi. Akibatnya, sampah plastik hanya memiliki sedikit pasar.
Bukan hanya di Amerika Serikat, perusahaan multinasional, Unilever mengklaim telah mendaur ulang kemasan plastiknya dan menjanjikan dunia tanpa sampah. Terdiri dari banyak bahan, saset Unilever tidak mungkin untuk didaur ulang atau digunakan kembali.
Menggunakan taktik greenwashing, Unilever meluncurkan kampanye lingkungan yang menjanjikan penemuan teknologi sebagai terobosan untuk mengatasi masalah kantong plastik. Sebagai pencemar plastik terbesar ketiga di dunia, Unilever mendanai operasi insinerasi di Sidoarjo.
Namun, berdasarkan investigasi Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), program daur ulang limbah saset Unilever sebenarnya metode yang dapat diperdebatkan. Sehingga, proyek tersebut dihentikan setelah dua tahun berjalan.
Banyak penelitian yang menemukan, insinerator mengeluarkan lebih banyak racun dan polutan yang membahayakan kualitas udara. Insinerasi berdampak lebih negatif terhadap kualitas udara lokal ketimbang TPA.
GAIA mengungkapkan, setiap tahap proses insinerasi, mulai dari pengangkutan limbahnya pun menghasilkan polusi. Melihat kenyataan ini, satu-satu jalan untuk mengatasi persoalan sampah plastik adalah dengan menghentikan produksi dan konsumsinya. (Yat)