Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
REALISASI APBN selama era tahun 1990-1997 mengalami defisit dan surpus tiap tahun. Surplus dialami pada tahun 1990, 1994, 1995, 1996 dan 1997. Defisit dialami pada tahun 1991, 1992, dan 1993.
Realisasi APBN selama era reformasi selalu mengalami defisit, yakni jumlah nilai belanja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Defisitnya melebar pada tahun 1998-2004 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kemudian sempat dapat ditekan pada periode tahun 2005-2010.
Sejak tahun 2011, defisit cenderung makin melebar. Pada tahun 2018, defisit berhasil sedikit ditekan menjadi lebih kecil dibanding dengan tahun sebelumnya. Namun, meningkat kembali pada tahun 2019.
Nominal defisit melonjak drastis karena dampak pandemi covid-19 hingga menjadi sebesar Rp947,70 Triliun pada tahun 2020. Berhasil diturunkan pada tahun 2021 menjadi sebesar Rp775,06 Triliun. Dan menurun lagi pada tahun 2022, hingga hanya sebesar Rp464,3 Triliun.
Berbagai analisis para ahli dan narasi kebijakan Pemerintah biasanya bukan menyoroti nilai nominal dari defisit, melainkan rasio atau persentasenya atas Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dianggap mewakili besaran pendapatan nasional. Defisit secara nominal mungkin saja naik pada suatu tahun dibanding tahun sebelumnya, namun tercatat turun jika dilihat dari rasionya atas PDB.
Rasio defisit APBN pada era tahun 1990-1997 terbilang masih rendah, rata-rata hanya sebesar 0,30% dari PDB tiap tahunnya. Bahkan, beberapa tahun anggaran mengalami surplus, meski tidak banyak.
Rasio defisit melonjak pada tahun 1998 menjadi sebesar 1,69%dan pada tahun 1999 mencapai 4,01%. Rasio defisit dapat dikendalikan dan cenderung menurun pada tahun-tahun berikutnya. Rata-rata pada era tahun 2000-2004 sebesar 1,75%.
Pemerintahan SBY-JK berhasil menekan rasio defisit secara signifikan. Rata-rata rasionya hanya sebesar 0,80% pada tahun 2005-2009. Rasio meningkat pada era Pemerintahan SBY_Boediono, namun masih terkendali dengan rata-rata sebesar 1,58%.
Pemerintahan Jokowi-JK mencatatkan rasio defisit yang cenderung meningkat. Rata-rata defisit pada tahun 2015-2019 mencapai 2,32%. Hal itu seiring dengan kenaikan defisit dalam nominal yang pesat, padahal laju kenaikan PDB relatif stagnan di kisaran 5%.
Rata-rata defisit era Jokowi-Ma’ruf Amin yang telah direalisasi (2020-2022) mencapai 4,36% dari PDB. Jika target APBN 2023 bisa tercapai, maka rata-ratanya pun masih sebesar 3,98%.

Klaim defisit dapat dikendalikan dan aman oleh Pemerintah memang tidak salah jika memakai patokan yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu sebesar 3% dari PDB. Akan tetapi jika dilihat dari kecenderungannya yang meningkat dan hampir selalu di atas 2% selama era Presiden Jokowi yang pertama, maka keuangan pemerintah tak bisa disebut sehat, dan berpotensi menyulitkan kesinambungan fiskal.
Dampak pandemi covid-19 memang membuat defisit melonjak drastis. Defisit mencapai 6,14% atas PDB pada tahun 2020 dan sebesar 4,57% pada tahun 2021. Jauh melampaui batas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang pada kondisi normal. Akan tetapi, payung hukum khusus telah ditetapkan, yang membolehkan defisit melampaui 3% hingga APBN tahun 2022.
Defisit yang direncanakan oleh APBN tahun 2023 sebesar Rp598,15 Triliun atau 2,84% atas PDB ditandai oleh target pendapatan negara sebesar Rp2.463,02 Triliun. Target ini lebih rendah dari capaian realisasi tahun 2022. Pemerintah tampaknya cukup menyadari bahwa faktor keberuntungan kenaikan pendapatan tahun 2021 dan 2022 mungkin tidak dialami lagi pada tahun 2023. Setidaknya akan cukup berkurang.
Lembaga seperti International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2022 memproyeksikan defisit APBN Indonesia secara nominal akan meningkat kembali mulai tahun 2024. Secara rasio hanya terjadi penurunan perlahan, namun lebih lebar dari sebelum pandemi. Rasio defisitnya masih sebesar 2,49% atas PDB pada tahun 2027.
Dengan tekanan defisit yang masih sangat lebar tersebut, kemampuan fiskal pemerintah terbilang sangat tidak mencukupi untuk menjalankan peran dan fungsinya secara memadai. Perlu diketahui, proyeksi IMF tampak berasumsi kondisi yang “normal” bagi perekonomian dan khususnya fiskal Indonesia hingga tahun 2027. Jika terjadi guncangan berat seperti resesi apalagi krisis ekonomi maka kemampuan fiskal akan kurang siap menghadapinya.
Peningkatan signifikan dalam defisit secara nominal selama dua dekade terakhir, termasuk lonjakan ketika terdampak pandemi, terutama disebabkan kenaikan belanja negara yang besar tiap tahun. Upaya mempersempit defisit tidak cukup dengan memacu kenaikan pendapatan, melainkan harus diimbangi dengan upaya mengendalikan belanja negara.