Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
DEFISIT Anggaran direncanakan sebesar Rp522,83 Triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2024. Lebih lebar dibanding prakiraan (outlook) Pemerintah atas realisasi APBN tahun 2023 sebesar Rp486,43 Triliun. Juga dari realisasi APBN tahun 2022 yang sebesar Rp460,42 Triliun.
RAPBN 2024 memprakirakan rasio defisit atas Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 2,29%. Hampir setara dengan outlook APBN 2023 yang sebesar 2,30% dan realisasi APBN 2022 yang sebesar 2,35%.
Realisasi APBN selama era reformasi selalu mengalami defisit, yakni total nilai belanja lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Pada era sebelumnya, sesekali mengalami surplus.
Nominal defisit tampak lebih lebar pada era tahun 1998-2004 dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sempat dapat diturunkan pada era tahun 2005-2010. Nominal defisit cenderung makin melebar pada era 2011-2017. Dapat sedikit ditekan pada tahun2018. Namun, meningkat kembali pada tahun 2019.
Nominal defisit melonjak drastis karena dampak pandemi covid-19 hingga menjadi sebesar Rp947,70 Triliun pada tahun 2020. Meski berhasil diturunkan pada tahun 2021, namun terbilang masih sangat lebar, mencapai Rp775,06 Triliun.
Defisit secara rasio atas PDB berfluktuasi dari tahun ke tahun, dengan kecenderungan menurun pada era tahun 2000-2004. Relatif terkendali dan rendah pada era tahun 2005-2009, dengan rata-rata 0,80% per tahun. Kemudian perlahan meningkat pada era tahun 2010-2014, dengan rata-rata 1,58% per tahun.
Pemerintahan era Jokowi I mencatatkan rasio defisit yang cenderung meningkat. Rata-rata defisit pada tahun 2015-2019 mencapai 2,32%. Hal itu seiring dengan kenaikan defisit dalam nominal yang pesat, padahal laju kenaikan PDB relatif stagnan di kisaran 5%.
Dampak pandemi covid-19 membuat rasio defisit melonjak drastis. Defisit mencapai 6,14% atas PDB pada tahun 2020 dan sebesar 4,57% pada tahun 2021. Meski rasio defisit bisa ditekan pada tiga tahun terakhir, secara rata-rata era Jokowi II mencapai 3,53%.
Pemerintah selalu mengklaim bahwa defisit dapat dikendalikan dan masih aman. Pada era Jokowi I yang biasa dikemukakan adalah patokan yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu sebesar 3% dari PDB.

Padahal jika dilihat dari kecenderungannya yang meningkat dan hampir selalu di atas 2%, maka keuangan pemerintah tak bisa disebut sehat dan berpotensi menyulitkan kesinambungan fiskal. Ketika terjadi pandemi yang berdampak besar pada keuangan pemerintah, maka kesulitan terasa lebih berat. Tidak tersedia cadangan dana ataupun ruang kebijakan fiskal yang memadai.
Pemerintah pun terpaksa memberi payung hukum baru, yang membolehkan defisit melampaui 3% hingga APBN tahun 2022. Meski dapat diterima secara hukum, kebijakan ini dapat dipertanyakan jika dikaitkan dengan defisit tahun-tahun sebelumnya yang sudah terlampau lebar.
Lembaga seperti International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook (WEO) edisi April 2023 memproyeksikan defisit APBN Indonesia secara nominal akan terus meningkat hingga tahun 2028. Secara rasio memang diprakirakan terjadi penurunan, namun secara perlahan. Rasio defisitnya masih akan bertahan di atas 2% atas PDB hingga tahun 2028.
Berdasar prakiraan tersebut, kemampuan fiskal pemerintah terbilang sangat tidak mencukupi untuk menjalankan peran dan fungsinya secara memadai. Proyeksi IMF sendiri jelas berasumsi kondisi yang “normal” bagi perekonomian dan khususnya fiskal Indonesia hingga tahun 2028. Padahal, mungkin saja terjadi guncangan perekonomian seperti resesi atau serupa pandemi covid 19 lagi. Kemampuan fiskal Indonesia akan tidak siap menghadapinya.
Peningkatan signifikan dalam defisit secara nominal selama dua dekade terakhir, termasuk lonjakan ketika terdampak pandemi, terutama disebabkan kenaikan belanja negara yang besar tiap tahun. Upaya mempersempit defisit tidak cukup dengan memacu kenaikan pendapatan, yang terkadang justeru memberatkan rakyat. Melainkan harus diimbangi dengan pengendalikan belanja negara yang serius dan mencegah maraknya korupsi. [rif]