DIA berjalan dari bangunan tua rumah besar dengan ruang depan terbuka. Melewati halaman luas remang dengan langkah menggayakan gaun itu. Gaun yang jatuh di badan, seperti daun jatuh dari pokok mempelam. Pertanda buah-buah di pohon itu telah ranum. Namanya Hanum, kekasih yang biasa menemuiku di gerbang pagar rumah tak berdaun pintu.
Dia anak gadis Wan Abid peternak sapi yang diambil susunya. Perusahaan susu Abidin bin Abrar. Ternaknya tidak di situ, tapi di rumah kedua di pinggir kali masih satu kampung. Hanum biasa bersepeda dengan rambut dijalin ekor kuda, melewati rumah orangtuaku. Di saat-saat itulah kami acap saling memberi senyum.
Wan Abid dari golongan agama. Ayahku, Ato, dari kaum nasionalis. Tidak akur. Wan Abid melarang anak gadisnya menjadi kekasih anak seorang nasionalis. Tepatnya, anak Ato yang bertato dan terkenal sebagai Ato Tato dari kampung tukang berkelahi. Hanum suka aku, tentu, sebabnya senyumku manis serasa buah mangga matang di pohon.
Sedang aku suka Hanum sebab matanya serupa mata burung dara. Biru. Rambutnya pirang. Badannya bagus. Mukanya mengingatkanku pada artis yang aku lupa nama. Aroma tubuhnya yang terbawa angin, percampuran antara wangi parfum dan bau susu sapi. Hanum memang suka memerah susu sapi, katanya.
Aku jadi ingin juga memerah susu. “Kapan-kapan,” katanya tersipu di keremangan malam, pada pertemuan pertama setelah saling memberi senyum. Aku pun bertanya, ‘kapan-kapan tu kapan.’ Dia menjawab setengah berbisik, “ya kapan-kapan, pokoknya kapan-kapan, kalau kakakku ke luar kota untuk membeli sapi.”
Dan inilah pertemuan yang selalu ditunggu. Gaun yang jatuh di badan, tubuh yang bagus, aroma percampuran wangi parfum dan bau susu sapi. Di gerbang lebar tidak berdaun pintu. Aku agak menepi, supaya tidak kelihatan oleh Wan Abid di ruang depan terbuka dengan lampu kekuningan itu.
“MAU ke alun-alun, Tato,” tanyanya, dan aku tertawa saja. “Boleh saja, asal jangan memerah susu sembarangan,” ancamnya bergurau. Meski ia tahu aku bukan ahli memerah, dan tidak ada sapi di alun-alun tentu. Kataku, segala sesuatu harus diserahkan ahlinya, kalau tidak tunggu kehancurannya.
Dia suka mendengar aku mengucap hadist nabi. Bagi golongan agama tentu surprise, seorang nasionalis hapal khadist. Khadist yang memang aku suka, dan aku telah hapal di luar kepala. Apalagi aku mengucapkannya seperti baca puisi. “Aku lebih suka di alun-alun Tato baca puisi,” ujarnya kemudian.
Dia memang tahu aku kerap memenangkan lomba baca puisi. Dan dia amat suka membaca suratku yang berbentuk puisi. Meski sebagian aku contek dari puisi karya Chairil Anwar atau WS Rendra. “Ayo baca puisi untukku, Tato,” pintanya, “tapi jangan keras-keras, nanti Abah atau Umi dengar.”
Aku pun membacakan puisi Chairil Anwar yang aku hapal. Sajak pendek empat larik berjudul Nisan, yang ditujukan buat Neneknda: Bukan kematian benar menusuk kalbu|keridlaanmu menerima segala tiba|tak kutahu setinggi itu atas debu|dan duka maha tuan bertahta.
Meski puisi bertema kematian, dia bilang, “bagus, Tato, puisi yang indah.” Ya, puisi memang tidak dilihat temanya, tapi bagaimana keindahannya. “Itu puisi pertama ditulis Chairil,” sahutku, “ditulis kala Chairil masih remaja, saat ia menghadapi kematian neneknya.”
“Aku suka Tato suka puisi,” sahutnya, “aku nggak suka Tato berkelahi, seperti anak-anak PKI itu.” Lanjut ujarnya, “bukan soal komunisnya, tapi mengapa mereka mengisi hidup di masa muda dengan membuat keributan. Kemudian tandasnya, “mereka juga suka mengintip..!”
ADA desir di dada saat dia mengadu, bahwa mereka suka mengintip saat dia mandi. Desir itu menjadi detak menggemuruh di dada, terasa panas membara. Aku segera pamit, meski dia menyerah sambil berpesan, “jangan berkelahi, Tato, nggak ada penyair berkelahi.”
Tanpa melihat ke belakang aku cergas meninggalkannya yang tentu berdiri termangu. Bersama gaun yang jatuh bagai daun jatuh. Lalu aroma parfum bercampur bau susu sapi yang terbawa angin. Tujuanku satu, alun-alun, tempat pertemuan. Di sana anak-anak nasionalis agama sosialis bercampur jadi satu.
Tapi persoalanku bukan itu. Ini soal laki-laki dengan laki-laki. Aku mengajak si pengintip ke tempat yang lebih sepi, lapangan DKA. Kami berkelahi sampai sama bapak belur. Hingga sama capai. Dan kami memutuskan berhenti. “Dasar PKI,” tohokku seraya meninggalkannya terkapar. Si pengintip sempat berkata, “tapi dia tampak suka diintip.”
Kata-kata itu terngiang di telingaku. Hingga besoknya aku kembali menemui dia di gerbang rumah orang tuanya. Itu dia berjalan dari ruang depan rumah yang terbuka. Melangkah dengan gaun yang bagai daun jatuh dari pohon di keremangan halaman rumah. Kata-kata itu terngiang, tapi aku antara percaya dan tidak percaya. Tapi, wanita memang punya misterinya sendiri.
Dia berjalan dan aku menunggu dengan pikiran galau. Hingga hilang pedih perih, gumamku berucap satu larik puisi Chairil, dan aku tidak peduli. Ya, antara pedih babak belur di mukaku dan perih di dalam dada. Aku lihat dia berjalan, dan hampir sampai di gerbang tak berdaun pintu. Tetiba aku ingin berlari, berlari…*