BARISAN.CO – Indonesia menghadapi masalah kemiskinan yang signifikan, dengan sekitar 9 sampai 10% dari populasi masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional, meskipun ada penurunan bertahap dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun persentasenya mungkin terlihat rendah, namun ini berarti puluhan juta orang.
Dalam sebuah diskusi terbaru, Prof. Mudrajad Kuncoro, PhD., memberikan wawasan tentang disparitas ekonomi di Indonesia, dengan fokus pada distribusi tingkat kemiskinan dan aspek demografis pertumbuhan ekonomi dari satu pulau ke pulau lainnya dan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Mudrajad menjelaskan bahwa ada pendekatan yang tidak seimbang dalam pembangunan dan pembentukan negara, dengan lanskap ekonomi yang sangat terkonsentrasi di Jawa, yang menyumbang 57% dari aktivitas ekonomi, diikuti oleh Sumatra sebesar 22%, Kalimantan sebesar 4,3%, Sulawesi sebesar 6,5%, Bali dan NTT sebesar 2,7%, dan Maluku dan Papua sebesar 2,5%.
“Di Indonesia terjadi pola yang unik. Polanya yang terjadi ternyata pola unbalaced development terus terjadi, porsi jawa sampai memegang porsi 57% dan sekarang 56.5% agak sedikit turun, Sumatera juga mengalami penurunan dari 23% menjadi 22%, dan Indonesia bagian timur contohnya bagian Katimin (Kalimantan timur) hanya sebesar 4.25%. Pola seperti ini terjadi selama bertahun-tahun semenjak 40 tahun, ” ujar Mudrajad.
Sementara itu, ketika mempertimbangkan kontribusi terhadap ekonomi Indonesia, Kalimantan Timur hanya berkontribusi sebesar 4,25%, meskipun akan menjadi lokasi ibu kota nasional yang direlokasi ke IKN (Ibukota Nusantara). Hal ini menimbulkan dua skenario yang mungkin: apakah redistribusi ekonomi akan bergeser ke Kalimantan atau apakah Jawa akan terus mendominasi lanskap ekonomi.
“Kalau nanti Ibukota betul-betul di pindah ke IKN, apakah pola spasial perekonomian akan berpindah menjadi tidak jawa sentris,tapi Indonesia sentris dimana IKN terutama kalimantan menjadi pusat perekonomian. Tentu hal ini, sejarah yang akan membutikan” ungkap Mudrajad.
Portofolio Persebaran Angka Kemiskinan
Mengenai distribusi kemiskinan, Mudrajad menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan tertinggi masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra. Dua pulau ini memiliki kepadatan penduduk tertinggi dan oleh karena itu jumlah penduduk miskin yang paling tinggi. Dalam hal tingkat kemiskinan, Jawa memiliki 13,62% dari populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan, dibandingkan dengan porsi populasi sebesar 52,59%. Ini mengalami peningkatan sedikit dari 9,03% pada September 2022 menjadi 8,79% pada Juni 2023.
“Membicarakan kemiskinan dengan angka garis kemiskinan BPS, kita bisa melihat jumlah penduduk miskin berada di pulau jawa dengan porsi 52.5%, kemudian diikuti oleh Sumatera. Jadi secara spasial, persebaran kue nasional masih di Jawa dan Sumatera, orang miskinnya paling banyak berada di Jawa dan Sumatera. Namun, jika membicarakan tingkat kemiskinan paling banyak yaitu di Indonesia bagian timur, khusunya di Papua, NTT dan NTB” Jelas Mudrajad
Dalam hal portofolio pertumbuhan kemiskinan dalam dua tahun terakhir (2022 dan 2023), tingkat kemiskinan tertinggi tercatat di Indonesia bagian Timur, mencapai 20,10% pada September 2022 dan turun menjadi 19,68% pada Maret. Selanjutnya, selama dua tahun dari 2022 hingga 2023, Indonesia berhasil mengurangi tingkat kemiskinan secara nasional dengan rata-rata 2,2%.
“Selama dua tahun kita lihat mana provinsi yang sudah mendapatkan pro-poor growth, Artinya pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mampu menurunkan kemiskinan atau tidak, ternyata selama dua tahun terakhir pertumbuhan ekonomi yang digunakan mengatasi kemiskinan mampu diturunkan rata-rata sebesar 2,2%.
Ternyata selama 2 tahun terakhir provinsi yang mampu menurunkan tingkat kemiskinan yaitu Papua dan Papua Barat, yang sudah mampu menurunkan tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional” papar Mudrajad.
Mudrajad juga mencatat fenomena saat ini di mana beberapa provinsi yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori miskin mengalami peningkatan tingkat kemiskinan.
“NTB justru mengalami kenaikan kemiskinan, hal ini terjadi karena adanya newmon (perusahaan tambang).ini jadi pertanyaan padahal pangsanya newmon sendiri untuk ekspor NTB itu 75% sendiri. Ini adalah sesuatu yang menarik kalau kita lihat beberapa provinsi sulawesi utara, tengah, selatan, tenggara yang di gembar-gemborkan untuk hilirisasi tapi kemiskinannya malah naik. Inilah yang kita sebut sebagai growth without development ada pertumbuhan tapi pembangunan ekonomi tidak terjadi, karena pembangunan hanya dinikmati oleh investor sementara penduduk lokal tetap miskin dan bahkan tingkat kemiskinan semakin meningkat,” pungkas Mudrajad. [rif]