Program restrukturisasi sebenarnya masih sempat berjalan di era Gus Dur. Tampak dilaksanakan secara lebih hati-hati, karena kondisi kedaruratan telah berlalu. Bagaimanapun, besaran biaya dalam soalan perbankan telah terrakumulasi sangat besar. Di prakirakan sekitar Rp 650 triliun sampai dengan akhir tahun 2000.
Seluruhnya dibiayai dengan utang, terutama berbentuk surat utang atau obligasi. Ini merupakan awal obligasi negara dalam nilai besar-besaran di Indonesia. Berbeda dengan era Soeharto, ketika utang pemerintah hampir seluruhnya merupakan utang luar negeri. Kali ini mulai ada utang dalam negeri, dimulai dengan utang kepada Bank Indonesia yang berbentuk obligasi. Obligasi ini kemudian diperjualbelikan dan berpindah tangan kepada berbagai pihak.
Biaya restrukturisasi atau penyehatan perbankan secara teknis memang tidak seluruhnya ditanggung oleh pemerintah (negara). Negara telah menyita banyak aset perbankan, dan telah memperoleh saham mayoritas dari sebagian besar bank. Sampai menjelang dibubarkan, BPPN mengklaim telah mengembalikan Rp172,4 triliun aset negara. Nilai yang dikemudian hari dipertanyakan oleh banyak pihak, dan kemudian audit BPK juga tidak menyepakati jumlah tersebut.
Selain karena program BLBI dan rekapitalisasi perbankan, utang pemerintah era Habibie juga bertambah dari pinjaman International Monetary Fund (IMF). IMF setuju memberi pinjaman bernilai besar dengan syarat Letter of Intens (LoI) yang ditandatangani oleh Soeharto, ketika gejala krisis telah tampak. Sebenarnya lebih bersifat untuk berjaga-jaga (stand by arrangements) jika krisis terjadi dan makin parah.
Belakangan, persetujuan nilai pinjaman yang disepakati maupun yang dicairkan berubah-ubah. Selama krisis ekonomi (1997-2000), IMF menyetujui pinjaman untuk Indonesia sebesar 17,36 miliar Special Drawing Rights (SDR) setara US$ 23,53 miliar. Namun, yang sempat dicairkan hanya sebesar 11,1 miliar SDR atau sekitar US$ 14,99 miliar. [rif]