Dugderan berasal dari kata dug berarti suara Bedug dan deran yakni suara mercon atau petasan, merupakan tradisi menyambut bulan suci ramadhan di kota Semarang
BARISAN.CO – Menyambut bulan suci ramadhan dilakukan masyarakat di berbagai daerah, seperti kota Semarang memiliki tradisi dugderan. Dugderan Semarang adalah tradisi menyambut bulan suci puasa yang diwariskan hingga sekarang ini.
Tradisi ini bukan sekadar kekayaan budaya bangsa Indonesia, akan tetapi sarat makna, sejarah dan nilai-nilai edukasi. Dugderan Semarang menjadi tradisi layaknya festhival khas kota Semarang, beragam agenda kegiatan berlangsung dalam momentum tersebut.
Adapun rangkaian acara dugderan Semarang, seperti ritual arak-arakan dari berbagai etnis seperti barongsai, rebana, maupun tradisi kampung lainnya. Festival dugderan ditandai dengan arak-arakan yang dimulai dari Balaikota Semarang hingga Masjid raya kota Semarang. Beragam dolanan anak dan jajanan tradisional menghiasi festival tersebut.
Dugderan berasal dari dua kata yakni dug dan deran, kata dug yakni suara yang berasal dari Bedug, biasanya benda ini berada di musala atau masjid cara menggunakannya dengan dipukul. Sedangkan deran adalah bunyi petasan atau mercon yakni suara der. Jadi tanda dimulainya awal ramadhan dengan bunyi bedug dan mercon.
Tradisi dugderan Semarang merupakan warisan leluhur sejak tahun 1882 pada era masa kepemimpinan Bupat Semarang R.M Tumenggung Ario Purbaningrat. Jadi tradisi ini dimulai sejak zaman kolonial atau masa penjajahan, dahulu tradisi ini dipusatkan di Kawasan Masjid Agung Semarang yang dikenal dengan Kauman.
Tradisi ini mampu menampung warga semarang, sebab di kawasan Masjid Agung Semarang, terdapat alun-alun atau lapangan. Dikelilingi dengan Pasar yakni yang dikenal dengan pasar Johar. Sehingga di kawasan tersebut bukan sekadar kawasan religius, namun juga kawasan budaya dan ekonomi. Jadi Kauman merupakan kawasan religius, budaya dan ekonomi yang dikeliling empat golongan etnis yakni Islam (Pekojan), Tionghoa, Jawa Asli dan Kampung Melayu
Asal-usul tradisi dugderan latar belakangnya yakni pada saat zaman kolonial masyarakat mengalami kebingungan tentang tanda awal masuk bulan suci ramadhan.
Dugderan: Warak Ngendok
Sedangkan simbol dari tradisi dugderan yakni Warak Ngendok yakni binatang mitologi yang mengambarkan beberapa etnis di kawasan tersebut yakni melayu, Islam, tionghoa, dan jawa. Warak Ngendok berasal dari dua kata yakni Warak dari bahasa arab wira’i artinya suci dan Ngendok artinya telur.
Adapun mitologi Warak Ngendok, ciri-cirinya yakni kepala kambing yang mengambarkan tradisi Islam. Bahwa di agama Islam ada perintah untuk melaksanakan kurban yakni masa Nabi Ibrahim yang menyembelih anaknya Nabi Ismail.
Lalu lehernya yang panjang dan tubuh bersisik simbol dari masyarakat tionghoa. Menggambarkan mitologi barongsai yakni ular kepala naga dan hewan yang bersisik. Begitu juga dengan kakinya yang panjang mengambarkan masyarakat jawa dan melayu.
Dugderan inilah tradisi turun-temurun di kota Semarang dalam menyambut datangnya bulan suci ramadhan dengan simbol Warak Ngendok yang sarat makna sebagai bentuk akulturasi budaya di Kota Semarang.