Scroll untuk baca artikel
Blog

Dukuh Nglegok Utara Agak Ke Tengah Dari Girli – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Dukuh Nglegok Utara Agak Ke Tengah Dari Girli – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Ucapan Natal dan Tahun Baru itu khan tidak perlu kulakan, mengapa kita mesti dilarang.  Toh menurut Quran sembelihan mereka halal juga bagi kita tho?  Itu artinya eksistensi mereka juga diakui oleh Quran,” jawab Mustajab ringan sambil merangkul Kandar.  Dan kalau sudah begitu biasanya Mustajabpun tak lupa segera menyelipkan sebatang rokok ke mulut Kandar. 

Selanjtnya sudah bisa ditebak, Kandarpun akan segera menyambutnya dengan gelak tawanya disusul oleh tawa Mustajab yang tak kalah serunya seperti hendak mentertawakan diri mereka sendiri.  Mustajab memang terkenal luwes dalam segala hal.  Ia memang seperti ditakdirkan untuk selalu ajur ajer.  Bahkan Mustajab juga dikenal selalu berpikiran out off the box

Tak mengherankan jika usulnya sepintas terdengar aneh dan musykil.  Tapi ya begitulah Mustajab.  Ia selalu saja punya cara untuk meyakinkan dan mempengaruhi warga kampung untuk selalu mendukung ide-idenya.

Pagi itu Dulkamdi benar-benar dibuat kuwalahan.  Pasalnya tiba-tiba saja kampung tempat mereka tinggal diserbu banjir.  Padahal setahu Dulkamdi, seumur-umur sejak ia tinggal di Dukuh Nglegok utara agak ke tengah dari girli tersebut tak pernah sekalipun disergap banjir seperti sekarang ini.  Ia dibantu Mustajab segera membentuk pos keamanan. 

Beberapa anak muda disiagakan untuk menjaga keamanan kampung dari penjarahan.  Sudah bukan rahasia lagi.  Bagi warga yang ditimpa musibah, ibarat kata sudah jatuh tertimpa tangga dan kejatuhan atap.  Bukannya menolong tetapi biasanya malah menthung.  Pak Frans yang sudah lanjt usia itu oleh Mustajab segera diunsikan ke daerah yang lebih aman. 

Pendeta tua bangka itu manut saja ketika Dulkamdi menyeretnya masuk ke mobil ambulan untuk diunsikan.    Mungkin gara-gara itulah Kandar uring-ringan tak karuan.  Menurut Kandar Dulkamdi dan Mustajab terlalu sok romantik dengan memntingkan golongan mereka dan dianggap tidak sensitif.  Kandar menyebut mengapa Mak Ipah yang juga sudah renta tidak diunsikan sama seperti Pak Frans.  Dulkamdi hampir saja menjotos muka Kandar karena saking jengkelnya.  Berkali-kali Dulkamdi memberi penjelasan mengapa Mak Ipah tidak diunsikan meski sama-sama sudah tua bangka dan hidup sebatang kara.

“Mak Ipah itu meski hidup sebatang kara tetapi ia memiliki keponakan yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggalnya.  Parto nama keponakan Mak Ipah tersebut.  Ia sudah berpesan kepada Saya agar Mak Ipah jangan diunsikan.  Parto dan anak-anaknya akan bergantian menjagai Mak Ipah,” jawab Dulkamdi sambil bersungut-sungut menahan jengkel.    Tapi ya begitulah kandar, lagi-lagi lelaki dari Bojonegoro itu masih belum dapat menerima keterangan Dulkamdi.

“Meski ada yang menjaga, banjir seperti ini akan membuat Mak Ipah trauma psikologis!  Kalian itu memang selalu bias kelompok!” ucap Kandar di pos ronda kampung sambil sesekali mengamati parameter banjir yang dipasang di dekat pos ronda. Sekali lagi hampir saja Dulkamdi naik pitam andai saja tidak segera terdengar sirene tanda bahaya dari ujung gang. 

Bergegas Dulkamdi dan Mustajab berlari ke arah asal suara.  Dan ketika kedua lelaki itu telah tiba di tempat asal suara, ternyata ada sebuah mobil tanggap darurat datang.  Ratusan nasi bungkus segera diturunkan berikut dengan air mineral.  Mustajab segera memerintahkan kepada salah seorang pemuda kampung untuk mengantarkan beberapa bungkus nasi dan beberapa botol air mineral kepada Mak Ipah.