Pendek kata hari itu warga kampung nglegok tak perlu antri di dapur umum dinsos untuk mendapatkan makan. Usut punya usut, jatah makan hari itu dari relawan teman-teman Pak Frans.
Namun begitu masalah tida habis begitu saja. Karena keesokan harinya, Mak Ipah ditemukan mengalami mencret-mencret. Dan sudah dapat ditebak. Kandar langsung saja mendatangi Mustajab yang tengah menurunkan bantuan makanan dan peralatan mandi dari relawan bergambar bunga matahari Kota sebelah.
“Sudah aku bilang! Kelompok mereka itu memang ingin menghabisi kita!” ucap Kandar sambil memeriksa isi kardus-kardus makanan yang dikirim oleh relawan tersebut. Wajahnya terlihat serius sekali memeriksa satu per satu isi kardus-kardus makanan tersebut. Mungkin Kandar ingin memastikan bahwa pasokan makanan kali ini aman untuk warga.
“Lihat itu! Mak Ipah mencret-mencret tak karuan,” sambungnya lagi masih dengan nada kemarahannya. Sementara itu Mustajab hanya terdiam. Dalam hati Mustajab pun merasa bersalah. Mungkin akibat memakan nasi bungkus yang kemarin ia kirimkan itulah yang membuat Mak Ipah terkena sakit perut.
Dan tanpa pikir panjang lagi Mustajab langsung meminta tim relawan bergambar bunga matahari dari kota sebelah tersebut untuk membawa Mak Ipah ke pos kesehatan. Tak sedikitpun ia meladeni kemarahan Kandar. Sore harinya, Mustajab mendapat kabar kalau Mak Ipah sudah sembuh tapi relawan bunga Matahari mencegahnya untuk pulang. Masih kata relawan bunga Matahari Mak Ipah terserang leptospirosis yang biasa menyerang di daerah banjir.
Jadi bukan karena nasi bungkus dari kawan-kawan Pak Frans. Mereka berjanji untuk merawat mak Ipah meski perempuan tua renta itu berkali-kali memaksa hendak pulang.
Semenjak mencret-mencretnya Mak Ipah, Pak Lurah, Pak RW dan Pak RTpun berkali-kali menyidang Mustajab karena kejadian tersebut. Mustajab dianggap berkonspirasi untuk mencelakai warga Dukuh Nglegok utara agak ke tengah dari girli tersebut.
Apesnya lagi, Pak lurah juga telah menuduh Mustajab melakukan kampanye hitam bagi atasan pak Lurah yang lagi mau magang apa gitu. Padahal sebagai penguasa kelurahan seharusnya Pak Lurah segera cancut tali wondo untuk meringankan beban warga bukan hanya uring-uringan tak karuan.
“Oalah Pak Lurah. Kalau Pak Lurah bisanya memang Cuma klitar-kliter saja mungkin tak jadi mengapa. Tapi mbok ya jangan ngomong kalau banjir di Dukuh Nglegok utara agak ke tengah dari girli itu sudah takdir,” bisik Dulkamdi pada Mustajab yang diiyakan oleh Kandar.
“Namanya saja Dukuh Nglegok. Nglegok itu artinya khan cekungan. Ya wajar saja kalau banjir,” tukas Pak Lurah berkali-kali sambil tak lupa memakai kaos bergambar atasannya yang warnanya merah agak gimana gitu.