EBIET G Ade mengajak saya membezuk Cak Nun. Melalui telpon dia meminta saya untuk memintakan ijin. Saya pun ber-wa ke Zaki, adik sekaligus manajer Cak Nun. Dia pun menjawabkan pesan Novia isteri Cak Nun.
Bahwa, kondisi Cak Nun masih belum stabil, jadi belum bisa dibezuk. Nanti kalau sudah membaik akan saya kabari. WA itu saya kirim ke Ebiet, dan Ebiet bisa memaklumi. Mungkin kali lain, kalau Tuhan mengizinkan.
Saya tidak akan menulis ini, kalau saya tidak hampir setiap malam mimpi bertemu Cak Nun. Lebih bukan semata lantaran alasan saya pribadi. Lanjut setiap terjaga dari mimpi, tengah malam atau hampir Subuh, yang saya ingat Ebiet dan Cak Nun.
Mereka adalah dua orang sahabat yang lebih mirip kakak dan adik. Saya saksinya, sejak 1975, persahabatan mereka seperti tak bisa dipisahkan. Bahkan mereka kemudian tampil bermusik dengan nama Duet Ebiet+Emha.
Ebiet melagukan puisi puisi karya Emha Ainun Nadjib, dan mereka kerap tampil berdua di panggung kesenian atau forum mahasiswa di Yogya. Yang populer di kalangan seniman justru lagu dari puisi Emily Dickinsion.
Judul puisinya I No Body and Who Are You, Aku Bukan Siapa-Siapa dan Siapa Kamu. Mungkin sejiwa dengan kondisi mereka berdua kala itu, yang bukan siapa-siapa seperti juga engkau para sahabatku. Dunia kesenimanan yang menjalani hidup bohemian.
Melewati perjuangan masing-masing, keduanya kemudian menjadi bintang cemerlang di kancah nasional. Seperti yang pernah saya ikuti dalam perjalanan Cak Nun dan Kiai Kanjeng (CNKK), yang saya bisa bersaksi.
Tidak ada yang bisa menyaingi kepadatan jadual CNKK di dalam maupun di luar negeri. Bahkan dalam kondisi sakit atau kehujanan, atau di negara-negara berbeda iklim. Terlebih dengan managerial lebih bersistem sosial, untuk tidak mengatakan semata profesional.
Begitu pun perjuangan Ebiet di belantara Jakarta. Bagaimana Ebiet mesti bekerja serabutan, sambil menawarkan kaset rekaman sederhana lagunya. Masih lagu-lagunya dengan syair Emha. Ingat, jaman saat musik kita diwarnai lagu-lagu pop permen.
Setelah melewati sekian kali penolakan, pada gilirannya satu PH mau menerima Ebiet. Tapi tidak semudah yang dibayangkan. Ebiet mesti menulis syair sendiri. Di sini tentu ada pertarungan batin, antara emosi persahabatan dan pikiran bahwa ini kesempatan terakhir dia bisa eksis.
Sampai kemudian kita mengenal lagu-lagu Ebiet yang diterima hangat oleh publik. Satu hal yang mengejutkan, sebab butuh apresiasi khusus untuk bisa menikmati genre musik baru. Tak bisa juga dibayangkan jadual padat Ebiet di dalam maupun luar negeri.
Akan tetapi saya mengenal totalitas keduanya, emosi maupun pikiran yang diserahkan penuh jiwa raga. Sampai mereka berusia lanjut, dan totalitas Cak Nun memang tak terukurkan. Terutama dalam emosi dan pikiran tentang nasib bangsa di sepenuh mata hatinya.
Sampai kemudian Cak Nun sakit, sakit berat yang memaksanya untuk istirahat total. Tak bisa dibayangkan, seorang yang tidak bisa diam dalam kreativitas dan gerak kemanusiaan seperti Cak Nun terpaksa mesti menyerah di ruang ICU.
Hampir setengah tahun Cak Nun terbaring. Setelah dua bulan di RS, kini dikabarkan sudah di rumah pribadinya dengan perlindungan ketat keluarganya. Bahkan Ebiet pun belum diperkenankan menjenguk sahabat dan sedulur lara lopanya.
Pun saya hanya bisa berkali bertemu melalui mimpi.***