Politik elektoral kemudian membuat tujuan kedaulatan rakyat bergeser maknanya, dimana kewenangan kekuasaan dieksploitasi dan melupakan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Izin Usaha Pertambangan (IUP) kemudian berubah menjadi “Izin Usaha Pilkada”, dimana ekonomi rente memaksa kepala daerah untuk mengembalikan sumberdaya ekonominya selama pemilihan kepala daerah. Pada periode reformasi ini ribuan izin pertambangan dan perkebunan tumbuh secara eksponensial dan kemudian memperburuk tata kelola sumber daya alam. Indonesia memasuki periode kutukan sumber daya alam (natural resource curse) dimana sumber daya alam yang merupakan modal dasar kesejahteraan rakyat menjadi rusak dan hanya dinikmati oleh segelintir elit.
Reformasi ini merupakan periode kelam pengelolaan sumber daya alam kita. Berdasarkan analisis spasial Forest Watch (FWI), luas konsesi perizinan sampai dengan 2017 mencapai 71,2 juta ha atau sekitar 37 persen seluruh daratan. Tampil mengemuka dalam penggunaan lahan secara eksesif adalah “dwitunggal sawit-tambang” dimana luas konsesi perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2017 mencapai 19 juta ha dan konsesi pertambangan 36,5 juta ha. Pada periode 2001 sampai 2018 Indonesia kehilangan 25,6 juta ha tutupan pohon (cover tree) dan deforestasi hutan alam sebesar 5,7 juta ha.
Karena menggunakan lahan yang sangat luas, “dwitunggal sawit-tambang” ini kemudian banyak mengakibatkan konflik agraria. Masyarakat lokal sebagai pemangku utama pembangunan kehilangan sumber mata pencahariannya dan juga mengakibatkan marginalisasi masyarakat adat. Musnahnya hutan juga mengakibatkan banyak penduduk yang bergantung kepada hasil hutan kehilangan bahan pangan tradisional mereka. Ini model pembangunan yang sunguh memakan korban, baik manusia dan juga alam. Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat hingga tahun 2017 terdapat 652.738 kepala keluarga yang terdampak akibat konflik agraria.
Tanpa perlu mengutuk-ngutuk apa yang sudah terjadi dengan rusaknya tata kelola sumber daya alam, Indonesia perlu untuk merubah haluan jalan ekonomi rente sumber daya alam. Indonesia perlu jalan ketiga, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan mengaktivasi atau memanfaatkan ilmu pengetahuan guna meningkatkan nilai sumber daya yang ada dengan jalan Ekonomi Hayati (bioeconomy). Ekonomi hayati merupakan jalan ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan hasil pertanian atau perkebunan yang ada dengan memberikan nilai tambah (biomass valorization) dari tiap rantai suplai (value chain), dimana produksi primer sumber daya hayati dikonversi melalui pemrosesan dan mengalami peningkatan nilai dan komersialisasi di pasar (Lewandowski, 2018). Dengan jumlah biomassa yang sangat besar yang dihasilkan dari pertanian dan perkebunan Indonesia sejatinya dapat melewati kecanduan ekploitasi sumber daya alam pimer dan melewati jebakan ekonomi pendapatan menengah (middle income trap).