Biomassa yang dihasilkan dari produksi pertanian maupun perkebunan saat ini menjadi perhatian negara-negara maju. “Kasta terendah” dari biomasa ini adalah potongan-potongan kecil kayu (wood chips) yang banyak digunakan sebagai bahan bakar, memasak dan juga pembangkit listrik. Sedikit perubahan teknologi kemudian meningkatkan nilai ekonomi dari biomassa dengan menjadi industri yang lebih bernilai lebih seperti pellet dan arang kayu (wood charcoal), karbon aktif (activated carbon) dengan beberapa produk samping seperti asam cuka (wood vinegar), accetic acid maupun gas sintetis (syngas).
Produk-produk samping biomassa ini dapat ditingkatkan lagi nilainya hingga mencapai “kasta tertinggi” yaitu untuk medis dan kosmetik. Di bidang medis misalnya, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan ekonomi hayati dengan memanfaatkan tanaman ganja (cannabis sativa) yang tumbuh subur di Indonesia. Publikasi ilmiah dengan kata kunci “cannabis” atau “cannabinoid” dilihat dari abstrak atau judulnya pada tahun 2019 mencapai 3.500 publikasi dan tahun 2020 ini diperkirakan penelitian tersebut akan lebih banyak lagi. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang ada tentunya Indonesia bisa menjadi sentra industri kesehatan (biomedis) bagi dunia.
Pengembangan ekonomi hayati sering sejalan dengan perlunya rekayasa mengenai kilang hayati (biorefinery) dimana kilang hayati ini bisa melalui proses termokimia (thermochemical) maupun biokimia (biochemical ) yang selanjutnya dapat diproses menjadi bahan bakar, energi, biomaterial, bioplastik dan banyak produk lainnya dan ini berkesesuaian dengan prinsip ekonomi sirkular (circular economy)dimana kegiatan ekonomi harus menghemat sumber daya dan energi dan juga meminimalkan dampak lingkungan. Perancis misalnya telah mengembangkan kilang hayati yang terintegrasi dalam satu kawasan di Champagne-Ardenne, dimana kilang hayati yang ada merupakan kerjasama antara koperasi petani dan beberapa industri dengan bahan baku utama dari produk pertanian dan sisa-sisa produk pertanian seperti gandum, sugar beet, dan juga alfalfa. Kilang hayati yang dikenal dengan Bazancourt-Pomacle biorefinery ini, seluruh industri yang terlibat berkolaborasi baik dalam riset, produksi maupun distribusi atas produk produk maupun produk sampingan yang ada (Pierre-Alain Schieb dkk, 2014).
Pada awalnya ekonomi hayati bertumpu biomassa generasi pertama (1st generation) degnan memanfaatkan produk utama pertanian dan perkebunan yang ditingkatkan nilainya untuk menjadi komoditas ekonomi. Pada generasi pertama ini ada kompetisi antara pangan dan energi dari biomassa, sehingga menimbulkan persoalan etis jika terus dilanjutkan. Biodisel yang berasal dari industri sawit, bunga matahari, jagung yang digadang-gadang untuk menggantikan bahan bakar solar termasuk kedalam generasi pertama ini. Perkembangan teknologi biomassa generasi kedua kemudian memanfaatkan residu pertanian atau perkebunan yang berupa lignoselulosa biomassa (biomass lignocellulosic) menjadi bahan bakar (biofuel), dan pada kilang hayati generasi kedua (2nd generation) inilah diharapkan kehadiran bahan bakar yang ramah lingkungan yang sesuai dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memperlakukan biofuel sebagai karbon netral dan mendukung agenda pembangunan berkelanjutan.