INI kabar tak sedap terkait dunia kerja. Di kutip dari sumber berita cnbcindonesia.com, diperkirakan ada 7 jenis pekerjaan akan tergantikan oleh mesin digital. Ketujuh jenis pekerjaan yang hilang itu diantaranya Petugas Entri Data, Sekretaris Administrasi dan Eksekutif, Petugas Akuntansi, Pembukuan dan Gaji, Akuntan dan Auditor, Pekerja Perakitan dan Pabrik, Layanan Bisnis dan Manajer Administrasi hingga Informasi Klien dan Layanan Pelanggan. Hilangnya jenis pekerjaan itu akan memakan korban 36 juta pekerja kehilangan mata pencaharian. Sebuah angka yang fantastis sekaligus mencemaskan.
Kabar ini disampaikan bukan oleh orang sembarangan. Adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapanes, Suharso Monoarfa, pada acara Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia di Jakarta (8/5/2023). Menurut hitungan Suharso, proses digitalisasi akan memakan korban hilangnya 7 jenis perjaan dan 36 juta lapangan kerja.
Besarnya potensi ancaman digitalisasi itu menurut Suharso tak selalu disikapi negatif. Hal ini karena, meski potensi hilangnya 7 jenis pekerjaan, akan muncul 12 jenis pekerjaan baru yang jika diturunkan lebih lanjut akan membuka peluang 42 juta lapangan pekerjaan baru dengan pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi. Mensikapi hal tersebut, Suharso optimis dengan kesiapan Indonesia menghadapi era digital ini terbukti dengan adanya anak hebat Indonesia yang membuat start up bio economy di San Fransisco.
Jika kabar dari Kepala Bapenas ini bisa menjadi rujukan. Jawaban atas masalah ini tentu kompleks. Hilangnya sejumlah jenis pekerjaan dan lapangan kerja, serta kebutuhan jenis pekerjaan dan lapangan pekerjaan baru menuntut konsekwensi yang harus ditangani secara serius, khususnya oleh pemerintah.
Potensi tergusurnya 7 jenis pekerjaan itu memberi pesan kuat ada yang tak relevan lagi dari pekerjaan atau profesi itu pada masa mendatang. Era disrupsi telah menggeser dan diprediksi menggusur profesi itu oleh inovasi mesin digital. Konsekwensi hilangnya 7 jenis pekerjaan itu berdampak hilangnya 36 juta lapangan kerja. Pertanyaannya, akan dikemanakan juta manusia yang kehilangan pekerjaan itu?
Hilangnya juta lapangan kerja, menuntut adanya jenis lapangan kerja baru. Sebab bila tidak, akan terjadi ledakan pengangguran yang luar biasa dan ini pasti potensial menimbulkan masalah sosial-ekonomi. Namun lapangan kerja baru pasti tak serta merta mudah diselenggarakan. Kalaupun ada pasti menuntut syarat dan keterampilan tertentu. Disini masalah yang akan potensial terjadi.
Pertama, ada juta orang akan menganggur. Mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun cenderung hanya menguasai bidang yang sehari-hari dikerjakan. Untuk beralih pada bidang lain, apalagi diluar ketrampilan yang dikuasai tentu tak mudah dilakukan. Upaya antisipasi alih ketrampilan belum tampak saat ini.
Kedua, banyak angkatan kerja baru yang masih membawa ketrampilan lama yang mungkin sudah tak relevan. Jumlah mereka akan bertambah tiap tahun karena belum ada perubahan signifikan pada kesiapan penataan profesi baru saat ini. Kondisi ini akan potensial tidak terserapnya lulusan di masa mendatang.
Ketiga, jumlah pengangguran di masa mendatang bisa diprediksi makin meningkat lantaran hilangnya lapangan kerja dan ditambahnya angkatan kerja baru yang belum menyesuaikan kebutuhan dunia kerja baru.
Disinilah tugas pemerintah sebagai pemegang otoritas perlu hadir dan membuat langkah kongkret untuk segera mengatasi ancaman pengangguran masal yang sudah di depan mata. Langkah itu paling tidak menyakut tiga hal. Pertama, menata lembaga pendidikan sebagai ‘produsen’ tenaga kerja. Lembaga pendidikan tidak saja menyangkut sekolah formal, tetapi juga jenis pendidikan lain macam lembaga kursus, balai latihan kerja dll. Perlu mengevaluasi bidang-bidang atau jurusan saat ini yang di masa mendatangtak relevan. Jika ini tidak segera dilakukan, itu sama halnya menyiapkan pengangguran baru lantaran kompetensi lulusan sudah tak dibutuhkan.
Kedua, perlunya kebijakan pemerintah membuka bidang-bidang yang sesuai kebutuhan dunia kerja baru yang berubah cepat. Turut mengikuti perubahan ini adalah merombak kurikulum secara radikal, cepat dan masif. Kritik atas kurikulum yang gemuk dan tak fungsional perlu ditata ulang untuk menyesuaikan perubahan yang berlangsung cepat.
Ketiga, untuk menyesuaikan era disrupsi yang bertumpu pada inovasi yang demikian cepat, selain menuntut kebijakan baru harus pula diikuti ‘mesin’ birokrasi yang lincah dan bergerak efisien. Sudah menjadi watak birokrasi untuk cenderung konservatif dan status quo. Ini yang harus dirombak lebih awal. Birokrasi cenderung bertahan sebagai ‘mesin lama’ yang sering menjadi tembok kokoh perubahan, apalagi perubahan yang berlangsung cepat. Sering kebijakan bagus tersandra birokrasi.
Ketiga hal di atas adalah pekerjaan rumah pemerintah selaku pemegang otoritas untuk mengatasi perubahan. Tanpa melakukan ketiga hal tersebut, hilangnya 36 juta lapangan pekerjaan dan kesempatan 42 juta lapangan pekerjaan baru sama-sama tidak mendapatkan solusi yang memadai. Itu artinya ledakan pengangguran akan sudah diprediksi sejak awal.
Kepala Bapanas bisa saja optimis memberi contoh kemampuan anak Indonesia yang telah berhasil di Luar negeri dalam menghadapi era digital. Namun jawaban itu tak bisa berhenti sampai di situ. Sebagai pejabat, Suharso mesti meneruskan lebih lanjut bagaimana kebijakan pemerintah menyiapkan anak Indonesia yang telah sukses itu bisa ‘diproduksi’ secara masal melalui sistem yang terstruktur, sistematis dan terukur melalui berbagai organ pemerintah yang terkoordinasi satu sama lain.
Organ pemerintah itu setidaknya melibatkan kementrian terkait semisal Kemendikbud, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian Perindustrian, Kementrian BUMN dan tentu Bapenas itu sendiri. Perlu ada desain sistem baru yang punya kelenturan beradaptasi terhadap cepatnya perubahan.
Jika kemudian ada pejabat hanya memberi jawaban atas kondisi yang mencemaskan itu hanya sebatas menyebut kasus anak hebat Indonesia yang berhasil membuat start up diluar negeri. Itu jawaban pengamat yang hanya melempar ide tanpa ada konsekwensi. Kita tetap butuh pengamat dengan segala kekritisan dan kejeliannya sebagai masukan yang berharga. Tetapi kita jauh lebih membutuhkan kehadiran pejabat yang peka terhadap masalah dan membuat solusi kongkret. Itu beda pejabat dan pengamat. Menjadi tambahan masalah baru ketika ada pejabat bertindak dan berpandangan seperti pengamat. Pasti itu tidak kita butuhkan.